SOS ! Gempa Bumi SIMEULUE / Pasca Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004 : MEMERDEKAKAN LINGKUNGAN HIDUP ACEH DAN NIAS,
Gambar foto satelit kawasan Simeulue, Aceh dan Nias, Sumatra Utara.
(klik gambar untuk memperbesar / click picture to enlarge)
Turut berduka cita dan bersimpati atas jatuhnya korban tewas, luka-luka, serta kerugian material karena gempa bumi 7,3 SR yang melanda Simeulue, Aceh, pada 20 Februari 2008.
Pasca Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004 :
MEMERDEKAKAN LINGKUNGAN HIDUP ACEH DAN NIAS,
MEMERDEKAKAN MANUSIA INDONESIA
MEMERDEKAKAN LINGKUNGAN HIDUP ACEH DAN NIAS,
MEMERDEKAKAN MANUSIA INDONESIA
Dampak bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 memang sungguh dahsyat. Gempa bumi berkekuatan sedikitnya 8,9 skala Richter yang berpusat di sebelah barat lepas pantai Aceh itu mengguncang bumi, juga menggelorakan gelombang pasang setinggi pohon kelapa dan sejauh sampai 5 kilometer ke dalam daratan. Gempa merusak bangunan sampai ke pelosok pegunungan, dan gelombang pasang tsunami memperparahnya dengan menghancurkan apa saja yang diterjangnya, pada jalur yang dilewati arus air yang meraksasa, kuat dan cepat itu. Di Indonesia saja korban tewas mencapai SEKITAR 200 ribu jiwa di dua provinsi. Puluhan ribu jiwa hilang dan tidak diketahui nasibnya. Kemudian lebih dari setengah juta jiwa terluka dan kehilangan tempat tinggal. Itu belum terhitung jika dimasukkan jumlah korban manusia dan kerugian harta benda dari 8 negara Asia yang berhadapan langsung dan berdekatan dengan pusat gempa. Dan sedikitnya tiga negara di benua Afrika yang betul-betul kecolongan dampak gempa dan gelombang tsunami yang datang tanpa permisi itu. Bencana ini segera menjadi monumen, bahkan ikon kedahsyatan kekuatan alam yang menandai awal milenium baru ini.
Sekarang, sudah lebih dari tiga tahun bencana itu berlalu. Namun gambaran akan kengeriannya masih segar di ingatan. Dalam kurun waktu dua tahun lebih itu, telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menolong para korban yang selamat dan terluka, menguburkan ratusan ribu jenazah, melakukan perbaikan dan pembangunan kembali kehidupan masyarakat. Usaha-usaha itu berupaya untuk memulihkan kondisi masyarakat di dua provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Semua itu dilakukan tahap-demi tahap menuju tujuan menyeluruh yaitu pulihnya jalannya roda pemerintahan, terjalinnya kembali sistem sosial dan budaya masyarakat, berputarnya kembali kehidupan ekonomi, dan pemulihan lingkungan hidup yang terkena dampak langsung tsunami.
Pendekatan lingkungan hidup ditujukan untuk menata kembali jalinan kehidupan setiap individu masyarakat, memperkuat kemampuan, dan jalinan antara manusia dengan lingkungan hidup. Pendekatan lingkungan hidup meliputi perencanaan dan perancangan ulang tata ruang wilayah, mengingat banyak wilayah tanah baik untuk pemukiman maupun pertanian yang hilang tergerus gelombang tsunami. Kemudian pembersihan dan pemulihan kembali lahan-lahan yang masih utuh tanahnya, namun hancur segala hasil budi dayanya dan tercemar air laut, sehingga dapat ditempati dan dikelola kembali.
Kemudian melakukan pemilihan dan pembukaan lahan yang baru sebagai tempat pemukiman dan pertanian yang aman dari ancaman tsunami bagi pemukiman penduduk, untuk menggantikan lahan yang musnah tertelan gelombang. Ini dibuat integral dengan jaringan infrastruktur transportasi yang baru. Dan akhirnya adalah membangun tata ruang yang di dalamnya mencakup perlindungan bagi daratan terhadap gelombang tsunami, misalnya dengan membuat atau menghijaukan kembali hutan bakau dan hutan vegetasi dataran rendah tepi pantai yang dapat menjinakkan gelombang tsunami.
Semua dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penduduk dalam menanggapi dan merawat alam, karena manusia hidup di alam, dan menjadi bagian utuh denga alam. Juga tak dapat dilupakan untuk seiring dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mata pencaharian mereka secara pantas dan bermartabat, dengan meningkatkan mutu pendidikan dan memperluas jangkauannya. Dengan demikian bencana ini memberi hikmah untuk memulai kehidupan dari nol lagi, dengan cara yang lebih baik, dan tujuan yang lebih mulia dan bermartabat.
Membebaskan manusia dari ketakutan dan kekhawatiran terhadap kemarahan alam. Memperkuat masyarakat untuk melakukan langkah-langkah tanggap bencana, terutama dalam penataan tata ruang yang sangat memerlukan sinergi dengan alam lingkungan tempat hidupnya. Bukan hanya tanggap terhadap gempa dan tsunami, namun juga terhadap aktivitas masyarakat sendiri yang bisa merusak lingkungan hidup dan akhirnya mengembalikan akibatnya pada manusia dalam bentuk bencana.
Merencanakan lahan pemukiman jauh dari pantai, dan atau di tempat yang dirancang mendapatkan perlindungan alami dari gelombang pasang, misalnya hutan bakau dan hutan tropis dataran rendah yang lebat di tepi pantai selebar 5 km. Terutama di pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, serta pulau-pulau di sebelah barat lepas pantai Sumatra, seperti P. Weh, P. Simeuleu, Kep. Batu, Kep. Nias dan Kep. Banyak. Sementara di agak jauh dari pantai dikonsentrasikan untuk lahan pertanian dan perkebunan yang bersinergi dengan kehidupan liar alam hutan tropis sebagai penyangga ketersediaan air dan sumber daya alam yang terlindung.
Juga menjaga lestarinya kehidupan laut terutama karang yang melindungi pantai, karena menghambat laju gelombang air laut. Juga menjaga stabilnya pasokan makanan dan tempat bernaung bagi berbagai kehidupan liar laut. Dari situlah sumber perikanan dapat dijaga ketersediaannya. Sumber daya kelautan dan perikanan yang terjaga ketersediaan, kualitas dan kelestariannya, akan dapat menjamin penghidupan masyarakat yang bergerak di sektor ini.
Walaupun dampak bencana sehebat dampak perang, namun bukan berarti kita bangsa manusia berperang dengan alam. Sebaliknya kita tetap bersahabat dan menghormati alam, seperti kita menghormati ibu kita sendiri, karena dengan di alam bumi inilah tempat hidup kita, dan atas kemurahan alamlah kita hidup dari hasil bumi dan airnya. Kita mengubah cara pikir dan cara pandang kita, bahwa manusia bukan untuk mengatasi dan menguasai alam, karena alam pun dapat berbuat demikian pula terhadap manusia, bahkan lebih besar lagi. Namun lebih dari itu, alam dan manusia adalah partner dalam menjalani kehidupan di bumi ini. Manusia hidup dari alam, dan alam tetap terjaga lestari dari upaya manusia. Maka pola pikir dan bertindak secara linier harus diubah menjadi melingkar yaitu daur.
Nasib anak cucu kita dan generasi penerus sedikit banyak, baik langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada kita saat ini. Bukan warisan kerusakan yang kita tinggalkan, namun warisan berupa usaha keras, belajar dari pengalaman, dan cara pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, serta tata ruang yang baik dan berimbang. Juga warisan peri kehidupan individu dan sosial bermasyarakat yang harmonis, optimis dan berkarakter kemanusiaan yang kuat.
Untuk meningkatkan pendapatan, baik individu maupun daerah, cara-cara konvensional dan tradisional, sedikit demi sedikit haruslah ditinggalkan. Yaitu cara-cara mendapatkan langsung, yang memang memberikan keuntungan seketika bagi sedikit orang, namun dampaknya sangat merugikan dan menyengsarakan bagi banyak orang di masa mendatang. Cara-cara itu antara lain adalah dengan menebang pohon secara membabi buta tanpa usaha penghijauan kembali; penambangan hasil bumi minyak, gas, dan batuan mineral yang menimbulkan polusi yang merugikan kesehatan umum. Kita juga harus mewaspadai potensi bencana akibat kelalaian kita sendiri karena merusak alam, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bukan hanya mewaspadai potensi bencana yang murni dari alam tanpa campur tangan manusia, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Usaha-usaha pelestarian alam, juga akan mendatangkan pendapatan ekonomi yang malah tak kunjung habis dari potensi pariwisata alam (hutan pulau, resort wisata yang dapat dibangun di pulau yang lestari alamnya, dan taman laut bawah air), air bersih, dan hasil perikanan. Sumber-sumber daya alam yang dapat diperbaharui ini, jika dikelola dengan landasan pelestarian akan menguntungkan semua pihak, baik bagi manusia maupun alam sendiri secara berkesinambungan untuk jangka waktu tak terbatas sampai ke anak cucu kita di masa depan.
Dengan landasan pengelolaan lingkungan alam dan sumber daya alam secara lestari, serta berkeadilan dan merata akan meniadakan potensi dampak sosial yang merugikan masyarakat luas. Hal ini mengingat saat ini masyarakat kecil yang sudah terjepit akan makin tercekik. Banyak dari mereka yang terusir dan terbuang dari tempat mereka tinggal serta tempat mencari nafkah yang sudah dilakukan turun-temurun. Jika pengelolaan tidak menaati hukum keadilan, dapat disimpulkan akan membawa dampak mahalnya ongkos tanggungan kerugian sosial dan lingkungan hidup.
Namun tentu saja, setiap proyek yang melanggar tata sosial dan tata lingkungan, walaupun telah dilegalkan, akan membawa kerugian menyeluruh untuk jangka panjang di masa mendatang yang berlipat-lipat kali dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Jangan bicara tentang keadilan, pemerataan, dan demokrasi untuk kasus ini, apa lagi pengamalan Pancasila, karena semua itu diabaikan, semata untuk keuntungan material yang besar namun semu dan sesaat.
Konsentrasi penduduk yang tinggi di Pulau Jawa beriringan dengan penyebaran penduduk yang timpang di luar Pulau Jawa. Di luar Jawa terjadi kerusakan lingkungan yang parah, yang lebih diakibatkan oleh eksploitasi hasil hutan unuk dimanfaatkan kayunya. Dan sebagian wilayah hutan dialihfungsikan atau sengaja dibuka untuk perkebunan dan pertambangan. Yang terparah adalah penebangan yang tidak disertai dengan reboisasi lahan. Inilah yang menyebabkan bencana alam di wilayah yang dalam sejarahnya belum sekalipun pernah terlanda banjir atau tanah longsor. Di samping juga musnahnya potensi keanekaragaman hayati yang merupakan karunia tiada duanya di dunia bagi negeri ini.
Semuanya terjadi akibat kekacauan tata ruang dan peruntukan lahan yang diakibatkan oleh tidak adanya komitmen untuk melaksanakan hal yang telah disepakati bersama. Diperparah dengan rendahnya pengawasan dan penjagaan terhadap kelestarian alam, serta titik nadirnya adalah kurangnya kesadaran seluruh lapisan masyarakat, akibat kurangnya pendidikan dan sosialisasi. Sekali lagi kita perlu merombak sistem dan perangkat yang usang yang sudah tidak bisa dijadikan sandaran bagi kelestarian alam dan pola tata ruang binaan yang betul-betul tertata. Dan lagi-lagi membuktikan bahwa dampak buruk dan kerugian yang ditanggung berlipat-lipat ganda dari pada keuntungan yang diperoleh karena menganut paham mencari keuntungan dengan cara-cara instan dan berwawasan jangka pendek.
Tata ruang yang ideal bagi negeri kita – yang berupa kepulauan beriklim tropis ini – yang kita harapkan adalah : ” sebuah negeri yang lingkungan alamnya – baik darat maupun laut, pantai sampai ke pegunungan – lestari, bersih tak tercemar dan terjaga dari harmoni yang serasi dengan aktivitas manusianya yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan alam semesta ini. Sumber daya alamnya dimanfaatkan secukupnya untuk kesejahteraan rakyat saat ini, sambil menjaga ketersediaannya bagi generasi ratusan bahkan ribuan tahun mendatang. Lingkungan binaannya adalah tempat –tempat di mana manusia dapat tinggal dengan layak, damai, aman, tenteram untuk menjalankan kerja usahanya, budi dayanya, mewujudkan gagasan baiknya, dan mengembangkan budaya dan peradabannya. Elemennya adalah ruang terbuka untuk aktivitas sosialisasi manusia, ruang untuk vegetasi dan kehidupan liar yang merata baik di kota maupun di desa. Pemukiman dan lahan yang diperuntukkan bagi aktivitas manusia tertata dengan perencanaan matang dan cermat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat secara aktif. Bangunan yang dibuat adalah bangunan yang hemat energi, ramah lingkungan, terbuka dan tanggap terhadap iklim negeri tropis ini, tahan gempa dan tahan terhadap akibat-akibat aktivitas kebumian lainnya, melindungi jiwa penghuninya, serta mencitrakan budaya masyarakatnya yang beranekaragam dengan mewujudkan bangunan yang memenuhi unsur guna, kekuatan dan citranya. ”
Maka yang diharapkan dalam pembangunan negeri kirta di abad 21, di mana teknologi informasi telah menjadi basis kehidupan manusia menggantikan era industri, maka kita juga dituntut untuk menjadikan abad ini sebagai abad pelestarian lingkungan. Di abad ini, diharapkan manusia semakin bersahabat dengan alam, yaitu dengan memanfaatkan alam hayati dengan cara yang makin beragam, cerdas, namun aman dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, sandang dan papan. Selebihnya adalah hasil rekayasa kecerdasan manusia melalui teknologi berbasis bio-fisik-kimia. Di abad ini pula, perencanaan pembangunan kawasan yang di dalamnya termasuk perencanaan arsitektur, meliputi properti, tata ruang kota/ wilayah, landscape, akan menjadi pemandu utama berbagai kebutuhan akan ruang dan lahan untuk mewadahi aktivitas manusia di bumi yang makin sempit dan sesak oleh padatnya penduduk dan aktivitasnya. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan dalam kurun waktu sepuluh tahun ketujuh usia kemerdekaannya dan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain, maka pembangunan haruslah terpadu, holistik/ menyeluruh, proporsional dan berkesinambungan, serta kontekstual sesuai kemampuan rakyat, dalam arti sesuai taraf sosial ekonomi rakyat dan sesuai dengan budaya dan cara pandangnya, juga sambil dengan usaha mencerdaskan rakyat agar semakin maju dan mampu mengatur dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara-cara terhormat dan elegan.
Dalam sebuah diagram piramida, pertanian berada di tingkat terbawah sebagai kebutuhan vital manusia, bersama dengan sektor energi dan mineral, baru di atasnya adalah sektor industri, infrastruktur, perdagangan, jasa, pendidikan, pengembangan iptek dan sosial budaya, dan sebagainyas. Seperti analogi bangunan, maka volume dan kekuatan pondasi adalah yang terbesar dibandingkan bagian-bagian lainnya di atasnya. Maka demikian pulalah halnya seharusnya pondasi suatu bangsa, yang pertama adalah pertanian, dan yang kedua adalah energi. Keduanya haruslah yang paling besar volumenya dan kokoh untuk menopang aktivitas dan peri kehidupan di atasnya. Sebagai sektor yang vital, maka dilihat dari segi representasi suatu bangsa, maka pertanian berada di bagian paling atas, dimana perhatian, strategi, usaha-usaha penelitian dan pengembangan, sistem distribusi, kebijakan termasuk subsidi dan proteksi, ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, untuk mewujudkan kesehatan, kecerdasan, dan aktivitas suatu bangsa.
Kemajuan semua usaha untuk mandiri dalam pemenuhan produksi pertanian dan energi, akan selalu berbanding lurus dengan tingkat kelestarian dan cara pengelolaan lingkungan hidup suatu negara. Jika musim kemarau tiba langsung berdampak pada merosotnya hasil pertanian dan pasokan energi, berarti ada yang salah dengan cara pengelolaan dan cara perlakuan manusia terhadap lingkungannya di negeri itu. Dan itu mencerminkan rapuhnya bangunan sistem relasi lingkungan hidup dengan manusianya selama ini.
Bumi tempat kita tinggal adalah bumi ciptaan Tuhan yang hidup, dan kehidupan bumi ini adalah representasi dari sistem. Logika, dan mekanisme kekayaan kehidupan hayatinya. Jika alam ini belum merdeka untuk menjalankan logika, sistem, dan mekanismenya sendiri akibat intervensi non-alami yaitu aktivitas manusia, yang cenderung merusak, mengubah, menghabiskan, mencemari dan memusnahkan, maka pada hakikatnya kehidupan manusia pun belum sepenuhnya merdeka, walaupun secara politis bangsa kita telah merdeka sejak 1945. Karena manusia tak dapat hidup tanpa alam hayati, sedangkan alam ini, jika kita pikir secara logis, tetap dapat menjalankan kelangsungan hidupnya tanpa kehadiran manusia. Manusia sendiri pada hakikatnya diciptakan untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan, perbudakan, dan pengekangan dari hak-hak asasinya. Manusia juga bebas untuk mengembangkan dirinya, berkarya bagi kemajuan seluruh umat manusia, secara bebas namun bertanggung jawab. Di sinilah dialog antara manusia dan bumi tempat hidupnya yang sama-sama merdeka secara asasi, secara arif dan saling menghormati.
Padahal untuk mencapai kesejahteraan, negara seluas Indonesia yang besar jumlah penduduknya ini harus bisa berswasembada poangan dan energi, artinya menjadikan pertanian menjadi pondasi yang besar dan kokoh, serta pengadaan dan pengelolaan sumber energi yang benar-benar menguasai hajat hidup orang banyak dan dapat diandalkan. Selama kita tidak mampu berswasembada pangan dan energi, -- padahal punya potensi sangat besar untuk memenuhinya—serta tergantung pada pasokan ketersediaan pihak luar, kita akan selalu saja kelimpungan dalam memenuhi kebutuhan daar kita, sehingga kita selalu luput untuk memfokuskan diri pada kemajuan di bidang lain yang mendasar. Contohnya adalah pengembangan manusia-manusia supaya cerdas, bersusila, berkarakter, mampu bersaing dan tangguh. Hal itu dapat dicapai dengan pendidikan yang menyeluruh dan berkeadilan. Vaclav Havel pernah berkata “kita tidak boleh menghemat investasi di bidang pendidikan dan kebudayaan.”
Ya, tentu saja harus demikian, walaupun sampai saat ini kita tidak mampu melaksanakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan 20% APBN diperuntukkan bagi pendidikan, karena lebih mementingkan untuk membayar hutang yang masih menjerat kita. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa untuk membereskan sistem pengelolaan negara yang di dalamnya tercakup berbagai sektor, termasuk pengelolaan sumber daya alam, maka terlebih dulu membereskan manusianya melalui pendidikan dan pengajarannya secara menyeluruh.
Di sinilah hakikat memerdekakan manusia yang telah merdeka (secara politis) yang hidup dalam rangkulan bumi pertiwi yang jauh lebih dulu merdeka. Memerdekakan manusia dari kebodohan, ketidaksadaran, ketidakpahaman, ketidakmampuan, keterbelakangan, kemalasan, perasaan rendah diri, dan berbagai ketertinggalan lainnya yang bermanifestasi pada kemiskinan lahir batin. Maka manusia yang telah merdeka sepenuhnya akan menjadi partner bumi dalam menjalankan keberlangsungan kehidupan secara timbal balik saling memperkuat dan memerdekakan.
Dengan berjalannya waktu, di tengah usaha pembenahan, pemulihan dan pembangunan kembali Aceh dan Nias dari dampak bencana tsunami, maka sangat diharapkan nilai-nilai di atas dapat diterapkan bagi kelangsungan kehidupan manusia di tengah masyarakat dan alamnya yang indah. Sehingga bencana selain tidak dapat dipungkiri membawa musibah, juga membawa berkah. Semuanya tergantung pada kita, bagaimana menyikapi dan mengelolanya, serta meletakkan dasar bagi penerus kita kelak.
Sekarang, sudah lebih dari tiga tahun bencana itu berlalu. Namun gambaran akan kengeriannya masih segar di ingatan. Dalam kurun waktu dua tahun lebih itu, telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menolong para korban yang selamat dan terluka, menguburkan ratusan ribu jenazah, melakukan perbaikan dan pembangunan kembali kehidupan masyarakat. Usaha-usaha itu berupaya untuk memulihkan kondisi masyarakat di dua provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Semua itu dilakukan tahap-demi tahap menuju tujuan menyeluruh yaitu pulihnya jalannya roda pemerintahan, terjalinnya kembali sistem sosial dan budaya masyarakat, berputarnya kembali kehidupan ekonomi, dan pemulihan lingkungan hidup yang terkena dampak langsung tsunami.
Pendekatan lingkungan hidup ditujukan untuk menata kembali jalinan kehidupan setiap individu masyarakat, memperkuat kemampuan, dan jalinan antara manusia dengan lingkungan hidup. Pendekatan lingkungan hidup meliputi perencanaan dan perancangan ulang tata ruang wilayah, mengingat banyak wilayah tanah baik untuk pemukiman maupun pertanian yang hilang tergerus gelombang tsunami. Kemudian pembersihan dan pemulihan kembali lahan-lahan yang masih utuh tanahnya, namun hancur segala hasil budi dayanya dan tercemar air laut, sehingga dapat ditempati dan dikelola kembali.
Kemudian melakukan pemilihan dan pembukaan lahan yang baru sebagai tempat pemukiman dan pertanian yang aman dari ancaman tsunami bagi pemukiman penduduk, untuk menggantikan lahan yang musnah tertelan gelombang. Ini dibuat integral dengan jaringan infrastruktur transportasi yang baru. Dan akhirnya adalah membangun tata ruang yang di dalamnya mencakup perlindungan bagi daratan terhadap gelombang tsunami, misalnya dengan membuat atau menghijaukan kembali hutan bakau dan hutan vegetasi dataran rendah tepi pantai yang dapat menjinakkan gelombang tsunami.
Semua dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penduduk dalam menanggapi dan merawat alam, karena manusia hidup di alam, dan menjadi bagian utuh denga alam. Juga tak dapat dilupakan untuk seiring dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mata pencaharian mereka secara pantas dan bermartabat, dengan meningkatkan mutu pendidikan dan memperluas jangkauannya. Dengan demikian bencana ini memberi hikmah untuk memulai kehidupan dari nol lagi, dengan cara yang lebih baik, dan tujuan yang lebih mulia dan bermartabat.
Membebaskan manusia dari ketakutan dan kekhawatiran terhadap kemarahan alam. Memperkuat masyarakat untuk melakukan langkah-langkah tanggap bencana, terutama dalam penataan tata ruang yang sangat memerlukan sinergi dengan alam lingkungan tempat hidupnya. Bukan hanya tanggap terhadap gempa dan tsunami, namun juga terhadap aktivitas masyarakat sendiri yang bisa merusak lingkungan hidup dan akhirnya mengembalikan akibatnya pada manusia dalam bentuk bencana.
Merencanakan lahan pemukiman jauh dari pantai, dan atau di tempat yang dirancang mendapatkan perlindungan alami dari gelombang pasang, misalnya hutan bakau dan hutan tropis dataran rendah yang lebat di tepi pantai selebar 5 km. Terutama di pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, serta pulau-pulau di sebelah barat lepas pantai Sumatra, seperti P. Weh, P. Simeuleu, Kep. Batu, Kep. Nias dan Kep. Banyak. Sementara di agak jauh dari pantai dikonsentrasikan untuk lahan pertanian dan perkebunan yang bersinergi dengan kehidupan liar alam hutan tropis sebagai penyangga ketersediaan air dan sumber daya alam yang terlindung.
Juga menjaga lestarinya kehidupan laut terutama karang yang melindungi pantai, karena menghambat laju gelombang air laut. Juga menjaga stabilnya pasokan makanan dan tempat bernaung bagi berbagai kehidupan liar laut. Dari situlah sumber perikanan dapat dijaga ketersediaannya. Sumber daya kelautan dan perikanan yang terjaga ketersediaan, kualitas dan kelestariannya, akan dapat menjamin penghidupan masyarakat yang bergerak di sektor ini.
Walaupun dampak bencana sehebat dampak perang, namun bukan berarti kita bangsa manusia berperang dengan alam. Sebaliknya kita tetap bersahabat dan menghormati alam, seperti kita menghormati ibu kita sendiri, karena dengan di alam bumi inilah tempat hidup kita, dan atas kemurahan alamlah kita hidup dari hasil bumi dan airnya. Kita mengubah cara pikir dan cara pandang kita, bahwa manusia bukan untuk mengatasi dan menguasai alam, karena alam pun dapat berbuat demikian pula terhadap manusia, bahkan lebih besar lagi. Namun lebih dari itu, alam dan manusia adalah partner dalam menjalani kehidupan di bumi ini. Manusia hidup dari alam, dan alam tetap terjaga lestari dari upaya manusia. Maka pola pikir dan bertindak secara linier harus diubah menjadi melingkar yaitu daur.
Nasib anak cucu kita dan generasi penerus sedikit banyak, baik langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada kita saat ini. Bukan warisan kerusakan yang kita tinggalkan, namun warisan berupa usaha keras, belajar dari pengalaman, dan cara pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, serta tata ruang yang baik dan berimbang. Juga warisan peri kehidupan individu dan sosial bermasyarakat yang harmonis, optimis dan berkarakter kemanusiaan yang kuat.
Untuk meningkatkan pendapatan, baik individu maupun daerah, cara-cara konvensional dan tradisional, sedikit demi sedikit haruslah ditinggalkan. Yaitu cara-cara mendapatkan langsung, yang memang memberikan keuntungan seketika bagi sedikit orang, namun dampaknya sangat merugikan dan menyengsarakan bagi banyak orang di masa mendatang. Cara-cara itu antara lain adalah dengan menebang pohon secara membabi buta tanpa usaha penghijauan kembali; penambangan hasil bumi minyak, gas, dan batuan mineral yang menimbulkan polusi yang merugikan kesehatan umum. Kita juga harus mewaspadai potensi bencana akibat kelalaian kita sendiri karena merusak alam, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bukan hanya mewaspadai potensi bencana yang murni dari alam tanpa campur tangan manusia, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Usaha-usaha pelestarian alam, juga akan mendatangkan pendapatan ekonomi yang malah tak kunjung habis dari potensi pariwisata alam (hutan pulau, resort wisata yang dapat dibangun di pulau yang lestari alamnya, dan taman laut bawah air), air bersih, dan hasil perikanan. Sumber-sumber daya alam yang dapat diperbaharui ini, jika dikelola dengan landasan pelestarian akan menguntungkan semua pihak, baik bagi manusia maupun alam sendiri secara berkesinambungan untuk jangka waktu tak terbatas sampai ke anak cucu kita di masa depan.
Dengan landasan pengelolaan lingkungan alam dan sumber daya alam secara lestari, serta berkeadilan dan merata akan meniadakan potensi dampak sosial yang merugikan masyarakat luas. Hal ini mengingat saat ini masyarakat kecil yang sudah terjepit akan makin tercekik. Banyak dari mereka yang terusir dan terbuang dari tempat mereka tinggal serta tempat mencari nafkah yang sudah dilakukan turun-temurun. Jika pengelolaan tidak menaati hukum keadilan, dapat disimpulkan akan membawa dampak mahalnya ongkos tanggungan kerugian sosial dan lingkungan hidup.
Namun tentu saja, setiap proyek yang melanggar tata sosial dan tata lingkungan, walaupun telah dilegalkan, akan membawa kerugian menyeluruh untuk jangka panjang di masa mendatang yang berlipat-lipat kali dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Jangan bicara tentang keadilan, pemerataan, dan demokrasi untuk kasus ini, apa lagi pengamalan Pancasila, karena semua itu diabaikan, semata untuk keuntungan material yang besar namun semu dan sesaat.
Konsentrasi penduduk yang tinggi di Pulau Jawa beriringan dengan penyebaran penduduk yang timpang di luar Pulau Jawa. Di luar Jawa terjadi kerusakan lingkungan yang parah, yang lebih diakibatkan oleh eksploitasi hasil hutan unuk dimanfaatkan kayunya. Dan sebagian wilayah hutan dialihfungsikan atau sengaja dibuka untuk perkebunan dan pertambangan. Yang terparah adalah penebangan yang tidak disertai dengan reboisasi lahan. Inilah yang menyebabkan bencana alam di wilayah yang dalam sejarahnya belum sekalipun pernah terlanda banjir atau tanah longsor. Di samping juga musnahnya potensi keanekaragaman hayati yang merupakan karunia tiada duanya di dunia bagi negeri ini.
Semuanya terjadi akibat kekacauan tata ruang dan peruntukan lahan yang diakibatkan oleh tidak adanya komitmen untuk melaksanakan hal yang telah disepakati bersama. Diperparah dengan rendahnya pengawasan dan penjagaan terhadap kelestarian alam, serta titik nadirnya adalah kurangnya kesadaran seluruh lapisan masyarakat, akibat kurangnya pendidikan dan sosialisasi. Sekali lagi kita perlu merombak sistem dan perangkat yang usang yang sudah tidak bisa dijadikan sandaran bagi kelestarian alam dan pola tata ruang binaan yang betul-betul tertata. Dan lagi-lagi membuktikan bahwa dampak buruk dan kerugian yang ditanggung berlipat-lipat ganda dari pada keuntungan yang diperoleh karena menganut paham mencari keuntungan dengan cara-cara instan dan berwawasan jangka pendek.
Tata ruang yang ideal bagi negeri kita – yang berupa kepulauan beriklim tropis ini – yang kita harapkan adalah : ” sebuah negeri yang lingkungan alamnya – baik darat maupun laut, pantai sampai ke pegunungan – lestari, bersih tak tercemar dan terjaga dari harmoni yang serasi dengan aktivitas manusianya yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan alam semesta ini. Sumber daya alamnya dimanfaatkan secukupnya untuk kesejahteraan rakyat saat ini, sambil menjaga ketersediaannya bagi generasi ratusan bahkan ribuan tahun mendatang. Lingkungan binaannya adalah tempat –tempat di mana manusia dapat tinggal dengan layak, damai, aman, tenteram untuk menjalankan kerja usahanya, budi dayanya, mewujudkan gagasan baiknya, dan mengembangkan budaya dan peradabannya. Elemennya adalah ruang terbuka untuk aktivitas sosialisasi manusia, ruang untuk vegetasi dan kehidupan liar yang merata baik di kota maupun di desa. Pemukiman dan lahan yang diperuntukkan bagi aktivitas manusia tertata dengan perencanaan matang dan cermat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat secara aktif. Bangunan yang dibuat adalah bangunan yang hemat energi, ramah lingkungan, terbuka dan tanggap terhadap iklim negeri tropis ini, tahan gempa dan tahan terhadap akibat-akibat aktivitas kebumian lainnya, melindungi jiwa penghuninya, serta mencitrakan budaya masyarakatnya yang beranekaragam dengan mewujudkan bangunan yang memenuhi unsur guna, kekuatan dan citranya. ”
Maka yang diharapkan dalam pembangunan negeri kirta di abad 21, di mana teknologi informasi telah menjadi basis kehidupan manusia menggantikan era industri, maka kita juga dituntut untuk menjadikan abad ini sebagai abad pelestarian lingkungan. Di abad ini, diharapkan manusia semakin bersahabat dengan alam, yaitu dengan memanfaatkan alam hayati dengan cara yang makin beragam, cerdas, namun aman dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, sandang dan papan. Selebihnya adalah hasil rekayasa kecerdasan manusia melalui teknologi berbasis bio-fisik-kimia. Di abad ini pula, perencanaan pembangunan kawasan yang di dalamnya termasuk perencanaan arsitektur, meliputi properti, tata ruang kota/ wilayah, landscape, akan menjadi pemandu utama berbagai kebutuhan akan ruang dan lahan untuk mewadahi aktivitas manusia di bumi yang makin sempit dan sesak oleh padatnya penduduk dan aktivitasnya. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan dalam kurun waktu sepuluh tahun ketujuh usia kemerdekaannya dan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain, maka pembangunan haruslah terpadu, holistik/ menyeluruh, proporsional dan berkesinambungan, serta kontekstual sesuai kemampuan rakyat, dalam arti sesuai taraf sosial ekonomi rakyat dan sesuai dengan budaya dan cara pandangnya, juga sambil dengan usaha mencerdaskan rakyat agar semakin maju dan mampu mengatur dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara-cara terhormat dan elegan.
Dalam sebuah diagram piramida, pertanian berada di tingkat terbawah sebagai kebutuhan vital manusia, bersama dengan sektor energi dan mineral, baru di atasnya adalah sektor industri, infrastruktur, perdagangan, jasa, pendidikan, pengembangan iptek dan sosial budaya, dan sebagainyas. Seperti analogi bangunan, maka volume dan kekuatan pondasi adalah yang terbesar dibandingkan bagian-bagian lainnya di atasnya. Maka demikian pulalah halnya seharusnya pondasi suatu bangsa, yang pertama adalah pertanian, dan yang kedua adalah energi. Keduanya haruslah yang paling besar volumenya dan kokoh untuk menopang aktivitas dan peri kehidupan di atasnya. Sebagai sektor yang vital, maka dilihat dari segi representasi suatu bangsa, maka pertanian berada di bagian paling atas, dimana perhatian, strategi, usaha-usaha penelitian dan pengembangan, sistem distribusi, kebijakan termasuk subsidi dan proteksi, ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, untuk mewujudkan kesehatan, kecerdasan, dan aktivitas suatu bangsa.
Kemajuan semua usaha untuk mandiri dalam pemenuhan produksi pertanian dan energi, akan selalu berbanding lurus dengan tingkat kelestarian dan cara pengelolaan lingkungan hidup suatu negara. Jika musim kemarau tiba langsung berdampak pada merosotnya hasil pertanian dan pasokan energi, berarti ada yang salah dengan cara pengelolaan dan cara perlakuan manusia terhadap lingkungannya di negeri itu. Dan itu mencerminkan rapuhnya bangunan sistem relasi lingkungan hidup dengan manusianya selama ini.
Bumi tempat kita tinggal adalah bumi ciptaan Tuhan yang hidup, dan kehidupan bumi ini adalah representasi dari sistem. Logika, dan mekanisme kekayaan kehidupan hayatinya. Jika alam ini belum merdeka untuk menjalankan logika, sistem, dan mekanismenya sendiri akibat intervensi non-alami yaitu aktivitas manusia, yang cenderung merusak, mengubah, menghabiskan, mencemari dan memusnahkan, maka pada hakikatnya kehidupan manusia pun belum sepenuhnya merdeka, walaupun secara politis bangsa kita telah merdeka sejak 1945. Karena manusia tak dapat hidup tanpa alam hayati, sedangkan alam ini, jika kita pikir secara logis, tetap dapat menjalankan kelangsungan hidupnya tanpa kehadiran manusia. Manusia sendiri pada hakikatnya diciptakan untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan, perbudakan, dan pengekangan dari hak-hak asasinya. Manusia juga bebas untuk mengembangkan dirinya, berkarya bagi kemajuan seluruh umat manusia, secara bebas namun bertanggung jawab. Di sinilah dialog antara manusia dan bumi tempat hidupnya yang sama-sama merdeka secara asasi, secara arif dan saling menghormati.
Padahal untuk mencapai kesejahteraan, negara seluas Indonesia yang besar jumlah penduduknya ini harus bisa berswasembada poangan dan energi, artinya menjadikan pertanian menjadi pondasi yang besar dan kokoh, serta pengadaan dan pengelolaan sumber energi yang benar-benar menguasai hajat hidup orang banyak dan dapat diandalkan. Selama kita tidak mampu berswasembada pangan dan energi, -- padahal punya potensi sangat besar untuk memenuhinya—serta tergantung pada pasokan ketersediaan pihak luar, kita akan selalu saja kelimpungan dalam memenuhi kebutuhan daar kita, sehingga kita selalu luput untuk memfokuskan diri pada kemajuan di bidang lain yang mendasar. Contohnya adalah pengembangan manusia-manusia supaya cerdas, bersusila, berkarakter, mampu bersaing dan tangguh. Hal itu dapat dicapai dengan pendidikan yang menyeluruh dan berkeadilan. Vaclav Havel pernah berkata “kita tidak boleh menghemat investasi di bidang pendidikan dan kebudayaan.”
Ya, tentu saja harus demikian, walaupun sampai saat ini kita tidak mampu melaksanakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan 20% APBN diperuntukkan bagi pendidikan, karena lebih mementingkan untuk membayar hutang yang masih menjerat kita. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa untuk membereskan sistem pengelolaan negara yang di dalamnya tercakup berbagai sektor, termasuk pengelolaan sumber daya alam, maka terlebih dulu membereskan manusianya melalui pendidikan dan pengajarannya secara menyeluruh.
Di sinilah hakikat memerdekakan manusia yang telah merdeka (secara politis) yang hidup dalam rangkulan bumi pertiwi yang jauh lebih dulu merdeka. Memerdekakan manusia dari kebodohan, ketidaksadaran, ketidakpahaman, ketidakmampuan, keterbelakangan, kemalasan, perasaan rendah diri, dan berbagai ketertinggalan lainnya yang bermanifestasi pada kemiskinan lahir batin. Maka manusia yang telah merdeka sepenuhnya akan menjadi partner bumi dalam menjalankan keberlangsungan kehidupan secara timbal balik saling memperkuat dan memerdekakan.
Dengan berjalannya waktu, di tengah usaha pembenahan, pemulihan dan pembangunan kembali Aceh dan Nias dari dampak bencana tsunami, maka sangat diharapkan nilai-nilai di atas dapat diterapkan bagi kelangsungan kehidupan manusia di tengah masyarakat dan alamnya yang indah. Sehingga bencana selain tidak dapat dipungkiri membawa musibah, juga membawa berkah. Semuanya tergantung pada kita, bagaimana menyikapi dan mengelolanya, serta meletakkan dasar bagi penerus kita kelak.
Komentar
Posting Komentar