SOS ! LUMPUR LAPINDO PORONG
Warisan Lumpur
Anak : “Sampai kapan lumpur itu menyembur, Pak?”
Ayah : “Kata para ahli sih, ada yang bilang 30 tahun baru berhenti.”
Anak : “Lama sekali, Pak. Keburu aku besar dan punya anak dong.”
Ayah : “Yaaa, begitulah....” “Maka aku wariskan lumpur ini padamu, siapa tahu, kamu yang bisa menghentikannya.”
Anak : “ ???! :- ( “
HARI INI (SELASA 19/2) LUMPUR LAPINDO DITETAPKAN SEBAGAI BENCANA ALAM OLEH DPR.
SEBUAH PENGKHIANATAN TERHADAP PENDERITAAN KORBAN LUMPUR LAPINDO YANG AKHIRNYA MENUNJUKKAN WUJUDNYA YANG SESUNGGUHNYA.
Turut berdukacita atas matinya nurani dan hilangnya rasa keadilan pada orang-orang yang mengaku wakil rakyat.
Lumpur Lapindo tak Terhentikan,
Penderitaan Korban pun tak Terhentikan
Berbagai dampak sebagai buntut menyemburnya lumpur Lapindo Porong terus berlanjut, seperti tak berkesudahan. Setelah tanggul jebol beberapa waktu yang lalu yang merendam Desa Besuki, pada Rabu (13/2) lalu giliran warga Siring Barat yang terkena semburan gas yang berhasil menembus lapisan tanah di bawahnya.
Pada Sabtu (16/2) Februari, harian ini memberitakan bahwa upaya menghentikan semburan lumpur dengan pengeboran miring harus mendapatkan dukungan penuh dari segenap pihak. Memang inilah cara yang paling menjanjikan, setelah beberapa cara sebelumnya mengalami kegagalan.
Jika memang demikian halnya, ini patut ditindaklanjuti, mengingat penderitaan masyarakat sudah semakin parah. Beberapa korban lumpur bahkan sudah mencapai taraf kemunduran kesehatan jiwanya. Maka lebih baik satukan segenap kemampuan untuk mengupayakan penghentian lumpur Dari pada nantinya lumpur terlanjur tak terhentikan dan akan menimbulkan kerugian berlipat secara material, serta berjuta kali lipat secara immaterial. Walaupun ada pihak yang meramalkan lumpur baru akan berhenti dalam kurun 30 tahun ke depan, namun siapa yang berani menjamin ketepatannya?
Carut marut masalah lumpur Lapindo semakin bertambah dengan ditetapkannya kasus ini menjadi bencana alam oleh DPR pada hari Selasa (Kompas, 19/2). Dengan demikian pemerintahlah yang menanggung segala kerugian termasuk memberi ganti rugi pada para korban. Keputusan ini sangat kontroversial, sekontroversiak keputusan pengadilan yang menyatakan ini adalah bencana alam. Selain itu tercium aroma kolusi, kesepihakan dan manipulasi data yang kuat.
Dampak terkini
Persoalan korban lumpur saat ini adalah semakin luasnya luberan lumpur akibat ambrolnya tanggul penahan di beberapa tempat. Maka peta terdampak luberan lumpur harus segera direvisi. Ditambah lagi dampak susulan yang membahayakan, seperti semburan gas seperti yang telah disebutkan di atas.
Mengingat penderitaan masyarakat yang sedemikian luar biasa, akankah kita tega menyaksikan mereka terlunta-lunta sebagai akibat cara penanganan yang tidak tepat, namun anehnya tetap menjadi pegangan pihak terkait.
Apakah etis memberi ganti rugi dengan sistem jual beli ? Padahal dengan pola pikir demikian, berarti sama saja menempatkan mereka sebagai pihak penjual padahal mereka ”menjual” bukan karena kehendak mereka, namun karena kondisi terpaksa yang dibuat oleh kelalaian pihak lain.
Yang paling etis adalah memberikan ganti rugi minimal dua kali lipat dari nilai aset mereka. Namun bagi penulis, ini pun jumlah yang jauh dari memadai jika penderitaan lahir batin mereka. Karena sesungguhnya tidak dapat digantikan ganti rugi materi sebesar apapun. Namun daripada terlunta-lunta oleh hasil keputusan yang telah banyak terkontaminasi banyak kepentingan yang tidak relevan, maka ganti rugi dua kali lipat layaklah sebagai jalan tengah. Satu nilai aset pertama sebagai ganti rugi material, sedangkan satu nilai aset kedua sebagai ganti rugi moril.
Penulis sendiri secara tidak sengaja berjumpa dengan salah seorang pengungsi korban lumpur Lapindo di Kota
Apakah pihak Lapindo dan pemerintah memikirkan dan berempati sampai taraf ”sakitmu adalah sakitku juga”? Sehingga menjadi pijakan moral yang kuat untuk benar-benar menyelamatkan masa depan ribuan keluarga korban lumpur. Terbukti sekarang, dengan pemberian uang muka ganti rugi 20% tidak banyak menyelamatkan kehidupan warga korban lumpur. Hanya menambah kebingungan dan penderitaan mereka.
Orang yang berbohong itu senantiasa ingin melarikan diri padahal tiada seorang pun yang mengejarnya, namun orang yang benar itu berani seperti singa. Goethe
Komentar
Posting Komentar