Jelajah CITARUM
gambar foto satelit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, meliputi wilayah Bandung, Cianjur, Purwakarta, Karawang dan Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
(klik gambar untuk memperbesar / click picture to enlarge)
CITARUM IN DANGER !!
Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat. Dengan panjang sekitar 300 km dari hulunya di lereng Gunung Papandayan, Kabupaten Bandung sampai muaranya di Laut Jawa, yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Bekasi dan Karawang.
Perjalanan aliran airnya dari hulunya di Papandayan (2665 m dpl), bergerak menyusuri alur celah pegunungan Malabar (2343 m dpl) dan Guntur (2249 m dpl) menuju Lembah Bandung yang landai yang berketinggian rata-rata 650 m dpl. Di sekitar Majalaya, alur sungai Citarum berbelok ke arah barat. Di lembah Bandung yang padat penduduk ini, didiami oleh 6 juta jiwa lebih inilah (gabungan dari jumlah penduduk di Kota dan Kabupaten Bandung, Bandung Barat, serta Kota Cimahi), Citarum menjadi urat nadi tata air di wilayah ini. Di lembah ini pula Citarum mendapat sumbangan air dari anak-anak sungainya seperti Cikapundung, Ciwidey dan Cigondewah, yang berasal dari lereng-lereng gunung Calancang (1667 m dpl), Manglayang (1812 m dpl), Bukitunggul (2209 m dpl), Tangkubanparahu (2076 m dpl), Burangrang (2064 m dpl), dan Patuha (2386 m dpl).
Setelah berliku-liku dan mengalun tenang pada dataran yang landai di lembah Bandung, sungai ini harus melewati celah-celah sempit perbukitan padas berkapur di selatan Cimahi, dan menurun, sehingga membentuk riam jeram. Setelah itu di sampai di suatu cekungan yang diapit pegunungan padas berkapur di sekelilingnya, dibangunlah dam yang menjadi danau buatan yang dinamakan Waduk Saguling. Di gambar foto udara terlihat Saguling berbentuk seperti jari-jari yang menjulur ke hampir ke semua penjuru. Walaupun sempit, waduk ini sangat dalam, karena air mengisi tempat yang tadinya adalah celah-celah lembah dan jurang yang curam. Dan setelah berusaha keras, akhirnya aliran air Citarum berhasil menembus pegunungan Pasir Guha (850 m dpl) yang melintang dari barat ke timur dari arah Cianjur menuju Padalarang. aliran air sungai mengarah ke utara. Di sini Citarum membentuk ngarai yang cukup dalam. Jika kita berkendara dari Bandung ke Cianjur, maka akan melewati jembatan Citarum yang sangat jelas terlihat keindahan ngarainya.
Sampai di sebuah lembah yang landai di sebelah utara Ciranjang (240 m dpl), Citarum dibendung lagi menjadi sebuah waduk yang bernama Waduk Cirata. Di sini Citarum mendapat pasokan air dari anak sungainya yaitu Cisokan dan Cikundul yang dari arah barat, berasal dari lereng Gunung Gede (2958 m dpl) dan Pangrango (3019 m dpl).
Selepas Cirata, alur sungai Citarum meliuk menghindari perbukitan padas Cikalong menuju dataran yang lebih rendah di utara. Di dataran yang berada di antara Gunung Sanggabuana (1791 m dpl) di sebelah barat dan perbukitan padas di Plered, Purwakarta di sebelah timur, dibangun lagi sebuah dam yang menjadi waduk Jatiluhur (140 m dpl). Selepas itu bergerak lagi ke utara di dataran rendah Karawang (14 m dpl). Di sini Citarum mendapat sumbangan air cukup besar dari anak sungainya yaitu Cibeet yang berasal dari pegunungan Talaga dan Cariu di Kabupaten Bogor.
Selepas itu, aliran air Citarum dengan berkelok-kelok bergerak ke utara melewati wilayah Rengasdengklok (8 m dpl), dan kemudian berbelok ke barat laut. Hingga akhirnya bermuara di Laut Jawa.
Kondisi Citarum Sekarang
Wilayah Lembah Bandung adalah wilayah “lantai tertinggi” dari aliran sungai Citarum. Kabupaten Bandung (termasuk Kab. Bandung Barat sebelum dimekarkan) berpenduduk 4.049.631 jiwa dengan luas 3073 km2. Kota Bandung berpenduduk 2.232.896 jiwa yang tinggal di wilayah seluas 167 km2. Kota Cimahi berpenduduk 502.337 jiwa dalam wilayah seluas 39 km2. Paling tidak, Citarum harus melayani 6,5 juta jiwa yang hidup di area cekungan Bandung dengan luas sekitar 3270 km2, yang dirasa semakin hari semakin sempit, kotor dan semrawut. Menjadi sumber air sekaligus tempat pembuangan limbahnya, baik oleh rumah tangga, pertanian, industri dan komersial. Sebagai perbandingan, wilayah Bandung Raya ini lebih luas dan lebih banyak penduduknya daripada Daerah Istimewa Yogyakarta yang berluas 3.133 km2, dan berpenduduk 3.279.701 jiwa.
Dalam gambar foto udara, tampak hutan yang terpotret berwarna hijau tua hanya berada di sekitar puncak gunung dan pegunungan. Sebagian pegunungan, terutama di Bandung Utara sudah tampak kecoklatan dan kemerahan, pertanda ekspansi pemukiman penduduk dan areal komersial sudah terlalu jauh mengintervensi lahan hutan lindung. Demikian pula dengan kawasan Bandung Selatan juga sudah sangat memprihatinkan. Sedangkan di sekitar Kota Bandung dan Cimahi, jangan ditanya lagi, sudah penuh sesak, tak tampak lagi warna hijau di sana. Kemudian agak turun ke sekitar Saguling, Cirata, Purwakarta, Gunung Sanggabuwana; kemudian ke Cianjur dan Cipanas di utara Gede-Pangrango; kemudian pegunungan yang menjadi hulu anak sungai Cibeet di daerah Cariu, Kabupaten Bogor sebelah timur, banyak sekali lahan kritis akibat penebangan hutan dan pengalihan fungsi lahan hutan lindung dan hutan rakyat menjadi pemukiman dan fasilitas komersial dan pariwisata. Serta menjadi lahan pertanian dadakan, namun dengan cara pengelolaan pertanian yang salah dan serampangan. Di Pantura yang lebih rendah juga demikian, banyak industri bermunculan di sana, mendesak kawasan pertanian dan kawasan hijau. Sepertinya sudah hampir tak ada lagi tempat yang tidak bisa lagi dimasuki intervensi manusia untuk mengalih fungsi lahan. Kalau demikian bencana yang lebih besar dan lebih sering sebenarnya sudah kita mulai.
Banjir di Bandung, pencemaran air sungai dan waduk, daya dukung lingkungan makin menurun akibat semakin luas dan padatnya pemukiman serta industri, serta banyak lahan tidur. Tutupan hutan Pasundan yang makin menciut. Keanggunan alam sudah hampir jadi cerita, akibat alih fungsi yang berlangsung sangat sembrono dan cepat. Bisa-bisa Tatar Parahyangan yang terkenal akan keindahan alamnya mulai semakin pudar dan menuju tahap tandusisasi, dan suatu saat anak cucu kita menuai kesengsaraan akibat perbuatan kita hari ini, dan hanya mendengar cerita keindahan alam Pasundan, seperti halnya mendengar dongeng Sangkuriang.
Beberapa tahun ini mungkin kita sudah biasa mendengar banjir yang diakibatkan meluapnya sungai Citarum di cekungan Bandung, seperti di daerah Rancaekek, Banjaran, Cibaduyut, dan Margahayu. Namun, kita menjadi sangat kaget mendengar berita sebagian masyarakat di Kabupaten Bandung kesulitan air bersih pada musim kemarau. Masak di pegunungan sulit air ? Itu adalah konsekuensi logis dari semakin rusaknya alam lingkungan hidup akibat semakin gencarnya alih fungsi lahan secara sembrono.
Sudah saatnya, kita jaga dan perbaharui lingkungan sekitar, tidak hanya mementingkan industri mode komersial yang sekarang makin marak di Bandung. Bandung sebagai barometer mode dan industri kreatif, seharusnya bisa memposisikan dirinya seiring dengan usahanya melestarikan lingkungan, serta menerapkan tata ruangnya secara tegas dan berimbang. Juga perlu dijauhkan dari pengkotak-kotakkan yang mengutamakan arogansi sektoral, sehingga melupakan tujuan dan gotong royong dalam hidup bersama.
Contohnya masalah sampah. Masak kita mau Bandung yang semula mentereng disebut Parijs van Java, menjadi Garbage van Java ? sepertinya terlalu beroriantasi pada hal-hal yang hanya mementingkan ego sendiri, dan sifatnya sesaat semata, tanpa kekompakan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas, serta berkelanjuran sampai ke anak cucu kita.
Kerusakan lingkungan di lantai tertinggi akan berdampak besar pada kehidupan di lantai yang lebih rendah. Dengan erosi tanah yang makin besar di lantai atas, membawa pendangkalan waduk yang memperpendek usia waduk dan memperpendek masa aktif pembangkit listrik, serta berpengaruh pada pasokan air di sentra padi Pantura, terutama di musim kemarau. Pencemaran limbah juga demikian, akan mempengaruhi perikanan, pertanian, dan sumber air bersih baku bagi kota-kota Pantura dan Jakarta.
Masyarakat usia produktif yang menganggur namun berpotensi seharusnya bisa dikerahkan untuk menanami lahan tidur. Di samping bisa untuk penghijauan dan pembaharuan fungsi lahan, juga bisa dijadikan sandaran hidup, dan mendukung usaha swasembada segala produk pertanian dengan segala variannya : makanan pokok, palawija, hasil perkebunan (karet, teh, kopi, rempah, buah-buahan). Serta dampak jangka panjangnya adalah lestarinya sumber dan daya tahan persediaan air, serta perbaikan mutu udara (peningkatan kadar oksigen sekaligus pengurangan kadar karbon dan penurunan suhu udara).
Di samping diversifikasi dalam berbagai lini pertanian, juga harus mulai dipikirkan pembatasan lahan industri, dan mengalihkannya ke luar Jawa. Di samping untuk pemerataan pembangunan, juga untuk pemerataan penduduk secara konkret dan berkelanjutan, serta mengurangi laju urbanisasi. *****
Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak. (Aldus Huxley)
Komentar
Posting Komentar