SAVE OUR INDONESIA !
LANDASAN POLA PIKIR SALAH KAPRAH, MENUAI BUAH KESENGSARAAN RAKYAT INDONESIA
Lumpur lapindo hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan yang mencerminkan ketidakpedulian pemerintah, dan sebentuk tindakan mengasingkan rakyat (sebagai korban yang menderita) oleh negaranya sendiri secara sistematis. Dalam surat ini ada beberapa kutipan dari tulisan beberapa cendekiawan kita.
Seperti yang telah kita jalani bersama, reformasi telah berjalan sembilan tahun, namun ekonomi masih kacau balau. Tolok ukur satu-satunya yang adalah ekonomi makro memang menunjukkan kemajuan, namun kemiskinan meningkat dan mengakar, ironisnya disertai dengan munculnya konglomerat baru di sisi lain. Sebuah bentuk kesenjangan yang semakin menggila. Pengangguran tak dapat diatasi namun makin banyak. Pancasila hanya sebagai pembungkus kapitalisme ekonomi liberal yang menyembah materialisme hedonistik kaku yang makin menggurita dan meraksasa. Sengaja atau tidak Indonesia telah menjadi negara yang sangat cocok disemaikannya bibit-bibit apartheid baru yang lebih modern, lebih rapi, halus dan terselubung, serta membius. Kemerdekaan kita telah mati jiwanya, mandeg, dan telah berubah menjadi bentuk penjajahan baru terhadap bangsa sendiri, yang tak kalah kejam dengan penjajah Belanda, VOC, dan Jepang sekalipun.
Juga rusaknya alam lingkungan yang segera memberi dampak susulan yang langsung dirasakan masyarakat dalam penderitaan mereka. Seperti dampak lumpur lapindo yang tidak bisa dihentikan sampai saat ini.
Maka didasari dengan rasa keprihatinan mendalam, kalau saya ada kesempatan tatap muka dengan presiden SBY, sebenarnya saya ingin sekali menanyakan kembali beberapa hal pokok kepadanya :
“Beranikah Anda membuat langkah yang besar dan panjang? Seperti kata orang bijak, untuk melewati jurang yang dalam diperlukan satu langkah besar, bukan beberapa langkah kecil. Karena satu langkah besar tercakup ketegasan, pertimbangan matang, dan menyeluruh ke dalam semua aspek.”
“Beranikah Anda sekali lagi mencopot (reshuffle) para pembantu Anda yang justru menambah masalah dan malah menjadi bagian dari masalah, serta tidak mampu menemukan dan melakukan hal-hal yang menjadi solusi bagi kepentingan dan keselamatan bangsa. Namun jelas mereka telah mengantisipasi sedini mungkin untuk mencari solusi bagi kepentingan dan keselamatan diri mereka sendiri beserta kelompoknya serta menghindari tanggung jawab utamanya.”
“Beranikah Anda menjadi aktor utama penggerak moralitas bangsa Indonesia yang baru, dengan modal kepercayaan kuat dari rakyat terhadap Anda, dengan tidak ragu untuk mengatakan tidak, dan membuat sekat pembatas tegas dengan mereka yang hanya mencari keuntungan pribadi sesaat ?”
“Beranikah Anda menegakkan hukum yang tegas bagi siapapun tanpa pandang bulu? Termasuk para pembantu dan orang-orang terdekat Anda, serta para koruptor dan manipulator kakap, termasuk yang mewariskan berbagai permasalahan bangsa sejak rezim-rezim yang lalu? Membaharui dan mengembangkan sistem hukum yang baru untuk menjamin terlaksananya penegakkan hukum?”
“Beranikah Anda mengembalikan sistem ekonomi Indonesia kepada ekonomi yang sesuai dengan karakter, kepribadian, cara pandang bangsa? Karena krisis menjadi berkepanjangan disebabkan oleh masih ditimang-timangnya sistem ekonomi kapitalis liberal yang sangat menyengsarakan rakyat, menguntungkan segelintir pihak, dan membuat negara kita menjadi tanah jajahan baru dalam imperialisme baru yang tak kasat mata mekanisme dan aktornya, namun dampaknya nyata itu. Jangan-jangan kita malah menjadi bagian yang menjadi aktor di dalamnya!! Seperti menimang anak macan, semakin dia besar, maka kita sendirilah yang diterkamnya.”
Karena kalau tidak, reformasi hanyalah baju saja, kosong tanpa makna. mengulangi sejarah dan menjadi anak kandung orde baru, yang hanya bajunya saja mengganti baju orde lama, namun isinya sama, sama-sama fasis-otoriter-seragam-kaku, namun rapuh dan keropos.
Saya tidak tahu landasan berpikir dan pola pikir apa yang dipakai pemerintah, pihak berwenang, dan berbagai pihak yang terlibat, dalam menangani berbagai masalah ini. Sehingga rakyat sedemikian sengsara dalam lingkaran penderitaan tak kunjung putus, sehingga mereka menjadi putus asa dan kewalahan menghadapi kesulitan hidup. Dengan mandegnya dan tidak berhasilnya setiap usaha penanganan, ditambah lagi berbagai manuver yang dilakukan pihak yang berwenang untuk menyelamatkan mereka masing-masing, maka semakin mencampakkan rakyat yang menderita itu ke dalam arena adu manusia dan singa. Banyak mata yang menonton, namun tak ada yang mau dan berani menolong, atau setidaknya mencegah terjadinya duel itu. Ini sebenarnya sangat memalukan. Namun apa daya, urat malu sudah dicabut di meja operasi yang dilakukan ‘dokter-dokter’ ala orde baru yang otoriter itu, yang masih banyak yang ‘buka praktek’ sampai hari ini.
Seperti kita ketahui bersama, Presiden SBY baru saja membentuk Dewan Penasehat Presiden (DPP), yang anggotanya adalah para Guru Bangsa yang arif bijaksana, dan rata-rata sudah senior. Salah satunya adalah Bapak Emil Salim. Dalam lampiran yang saya sertakan, terdapat tulisan Bapak Emil Salim di harian Kompas (2002) berjudul “Ekonomi dalam Lingkungan“ yang membahas tentang Ketua Umum Kadin Indonesia yang waktu itu dijabat Bapak Aburizal Bakrie, mengatakan bahwa di masa krisis ekonomi sekarang ini diutamakan pembangunan ekonomi lebih dulu tanpa penanganan masalah lingkungan hidup.
Maka jelaslah kesalahan landasan dan konsep awal pemikiran. Awal sekali, bahkan sebelum pertimbangan dan keputusan dilahirkan. Ini adalah cermin dari bentuk ketidakpedulian pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab, dilihat dari individu per individu. Parah. Dan telah menjadi tumpukan ketidakpedulian didasari kekurangpahaman, didasari tidak mau belajar, dan didasari lagi pengagungan mementingkan keuntungan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan rakyat banyak yang menjadi korban. Seperti korban lumpur Sidoarjo. Sudah hampir setahun penderitaan mereka, rumah-rumah mereka tenggelam. Hilanglah harapan hidup, mata pencaharian. Buyarlah didikan pada anak-anak, karena anak sudah tidak berada dalam lingkungan yang kondusif untuk dididik dan belajar. Hilanglah tata krama anak, muramlah kehidupan berkeluarga, rusaklah relasi hubungan sosial. Hancurlah habitat hidup masyarakat di beberapa desa itu. Sirnalah budaya kehidupan yang telah berlangsung ribuan tahun lalu, yang kemudian menjadi masyarakat Jawa yang beradab sejak zaman kerajaan-kerajaan, sampai era 61 tahun Republik Indonesia, ketika sesaat sebelum lumpur itu muncrat.
Dan dengan landasan pola pikir awal yang penuh ketidakpedulian itu, maka wajarlah jika perusahaan Lapindo yang merupakan salah satu perusahaan dalam kelompok Yth. Aburizal Bakrie (yang sampai sekarang menjadi Menkokesra), sah-sah saja dan santai-santai saja melakukan kegiatan tambang di tengah lahan yang padat penduduk, dengan melakukan manipulasi dan pembohongan publik dengan mengatakan akan membuat pabrik pada warga setempat.
Dan wajar bila dalam pertemuan antara Presiden SBY dengan Direktur Lapindo Nirwan Bakrie, yang masih satu keluarga dengan Aburizal Bakrie (yang juga hadir dalam pertemuan itu), dengan nada enteng dan penuh rasa kemenangan, menolak untuk bertanggung jawab memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat muncratnya lumpur panas. Nirwan beralasan bahwa dalam UU penanganan lumpur yang Presiden tanda tangani sendiri itu, wewenang perbaikan infrastruktur ada di tangan pemerintah !!! Apakah Presiden tidak meninjau UU itu terlebih dulu sebelum diberlakukan? Sudahkah Presiden berlandaskan “peraturan untuk manusia, bukan manusia untuk peraturan”, seperti halnya “makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”?
Suatu hal yang janggal dan menjengkelkan hati terjadi, ketika bagaimana seorang Presiden sebagai penanggung jawab negeri, yang merupakan pelayan dan abdi rakyat, yang juga menjadi teladan dan penjaga moral bangsa, tumpuan harapan kehidupan rakyat, dianggap enteng dan ditepis begitu saja oleh seorang pengusaha bandel dan rakus yang bikin sengsara rakyat ?!
Maka, dapat saya tekankan bahwa, bencana lumpur panas yang terus menyembur sampai hari ini, menenggelamkan pemukiman penduduk, kawasan industri, dan infrastruktur, serta merusak lingkungan hidup, telah memiliki alur logis yang jelas. Dan dapat dengan jelas pula kita simpulkan bahwa, bencana lumpur panas itu adalah bencana akibat ulah manusia. Sejak tahap perencanaan awal yang landasan pemikirannya sangat sembrono dan salah kaprah yaitu “ekonomi dulu, baru lingkungan kemudian”, penyusunan konsep kerja yang serampangan, kongkalikong dalam pengurusan ijin, sosialisasi pada masyarakat yang penuh manipulasi dan kebohongan, proses eksploitasi yang tidak memenuhi prosedur, sampai akhirnya kelalaian manusia yang membuat energi tekanan bumi yang dahsyat itu balik menyembur keluar. Bagaimanapun, alam tidak memberi toleransi apapun bagi berbagai bentuk akal bulus, manipulasi dan kelalaian manusia. Alam akan membalas dengan bersikap liar dengan kekuatan merusak yang luar biasa, jika manusianya terlebih dulu mengelola alam secara liar dan tidak beretika.
Seorang menteri atau pejabat publik yang berasal dari kalangan pengusaha yang pada hakikatnya adalah seorang pedagang, jika tidak dilandasi oleh paham dan komitmen kerakyatan yang kuat, ditambah sikap pengabdian penuh ketulusan, hanya akan menyengsarakan rakyat dengan kebijakannya yang terlalu mekanistik-teknokratik yang formil-kaku, jauh dari rasa kemanusiaan, dan penuh nafsu untuk menguntungkan diri sendiri. Sudah terbukti, bukan ?
Aburizal Bakrie sendiri saat ini menjadi orang terkaya di atas kesengsaraan dan penderitaan korban lumpur panas, karena kekayaannya yang menurut hasil audit mencapai trilyunan itu tidak berkurang, dikarenakan semua biaya perbaikan infrastruktur yang rusak akibat lumpur dibebankan pada pemerintah, yang berarti adalah uang rakyat. Pola pikirnya yang mengutamakan ekonomi dulu, baru kemudian lingkungan hidup telah mendapat habitat yang cocok iklimnya, karena banyak orang terutama di lingkungan pemerintahan sejak orde baru, dan dunia usaha mendukungnya dengan semangat kenikmatan. Bahkan sampai hari ini, pikiran itu tetap lestari, tentu dengan kedok untuk mengatasi kesulitan ekonomi di era krisis. Yang terkena krisis itu sebenarnya siapa?? Para konglomerat dan pejabat yang menerapkan pandangan kapitalisme piciknya (termasuk Aburizal), sehingga kelimpungan saat suku bunga membumbung dan nilai tukar rupiah merosot, ataukah rakyat? Karena rakyat sepertinya tidak hanya terkena krisis moneter sejak 1997. Hakikatnya, krisis yang dialami rakyat telah dimulai sejak demokrasi terpimpin era Orde Lama, diikuti pembangunanisme orde baru, sampai orde reformasi (atau deformasi?) saat ini. Dan rakyat selalu menjadi korban sistem yang bobrok, pembebek dan mentah tersebut.
Bagaimanapun sulitnya keadaan moneter dalam negeri, tetap saja tidak begitu mempengaruhi para konglomerat, bos-bos besar, para pegawai di high level management, para pejabat dan cukong-cukong penjual dan pengeruk aset negara. Serta satu lagi: para koruptor kakap. Di tengah kesulitan dan kebangkrutan umum, mereka bisa tidur nyenyak di spring bed dalam ruang ber-AC, bepergian dengan mobil keluaran terbaru, shopping dan jalan-jalan ke luar negeri. Padahal banyak diantara mereka adalah biang kerok kebangkrutan umum itu. Namun entah mengapa, sepertinya mereka menjadi kebal hukum.
Yang agak “lucu” (untuk menghaluskan kata “aneh bin menjengkelkan”)di sini, saya juga tak habis pikir, bagaimana bisa Presiden mencoba memadukan pola kerja DPP yang salah satunya Bapak Emil Salim, yang setahu saya adalah sosok yang penuh pertimbangan, arif dan bijaksana, dengan Aburizal Bakrie yang manipulatif, sembrono dalam pertimbangan dan keputusannya? DPP isinya adalah senior-senior yang sudah tidak ada “nafsu” berkuasa lagi dan beliau-beliau ini telah selesai mengurusi dan mencukupi diri mereka sendiri selayaknya; disandingkan dengan kabinet yang isinya orang-orang yang penuh nafsu, belum selesai dalam usaha memenuhi ego dan nafsu (jabatan, kekuasaan, materi, popularitas, bahkan seks) mereka. Sebenarnya strategi pemerintahan semacam apakah yang coba diterapkan? Karena semua ini tampak bias, mendua, serba kontradiktif, penuh anomali, double(?atau malah multi?) standard, dan akhirnya malah kontraproduktif. Tidak ada batas yang jelas dan tegas berpihak pada apa, dan tujuannya apa, serta bagaimana penerapannya. Dengan pola-pola pemerintahan seperti ini, saya tidak bisa memberikan komentar lagi apa yang akan terjadi kemudian, karena dada ini semakin sesak menahan pilu, karena ikut menjadi satu dalam kepiluan saudara sebangsa rakyat Indonesia yang menjadi korban kesewenang-wenangan gaya baru. Serta pilu karena martabat manusia, keadilan dan akal sehat telah dilecehkan. Ada orang bijak yang berkata, “Segala di dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang rakus.” Atau mungkin SBY masih segan terhadap JK, jika mau mencopot Abu Rizal Bakrie?
Kita semua tentu juga berprihatin terhadap lingkungan kehidupan sosial kita, adalah lingkungan di mana pemikiran manusia-manusia Indonesia berkembang inilah yang sebenarnya sangat buruk, karena penuh ketidakjujuran yang melahirkan korupsi, kolusi, nepotisme dan segala bentuk manipulasi lainnya. Tentu saja akan sangat menyengsarakan, memiskinkan dan membelenggu, dan sangat berpotensi tetap lestari selamanya jika tidak ada tekad dan tindakan memperbaiki sekarang juga.
Dalam kurun 9 tahun reformasi ini, kita bersama amati, dan pelajari, ternyata reformasi hanya berlaku bagi kelangsungan hidup sistem kapitalisme yang digerakkan oleh invisible hand. Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu memusingkan berbagai peristilahan. Namun kapitalisme adalah suatu istilah yang menjadi kesepakatan umum sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Kapitalisme yang seliberal-liberalnya, yang jelas-jelas sangat ditentang oleh para Founding Fathers kita (Soekarno : “kemandirian dalam ekonomi”; Hatta : “Sistem koperasi sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia”). Maka mereka pun menyusun Pancasila sebagai saripati falsafah pandangan hidup bangsa Indonesia yang melandasi peri kehidupan kita. Namun kenyataannya sekarang adalah Pancasila direndahkan perannya hanya sebagai sampul, sedangkan isinya adalah sistem ekonomi kapitalisme liberal. Bahkan salah satu ahli ekonomi kita mengatakan bahwa Indonesia adalah negara paling liberal dalam menerapkan sistem ekonominya (Radius Prawiro, 1998). Ironis dan mengerikan!! Karena uang yang berkuasa, dan manusia Indonesia menjadi budak manusia bangsa lain yang berkedok investasi dan budak uang. Lihatlah Freeport yang telah berhasil membangun “negara kecil yang gemerlapan”, namun menyengsarakan rakyat di Papua khususnya, Indosat yang telah dikuasai Singapura, Newmont yang menyakiti penduduk Minahasa, dan sebentar lagi Exxon Mobil segera “menjajah” di tambang minyak Cepu, Jawa Tengah.
Maka benarlah apa yang dikatakan Bung Karno, “ Tunggulah sampai anak-anak bangsaku selesai belajar, terampil, dan mampu untuk melakukannya sendiri”. Pesan ini hakikatnya adalah prinsip swadaya, swakarsa dan swadesi (seperti yang digerakkan Mahatma Gandhi di India, yang sekarang bisa kita lihat, India telah menjadi kekuatan ekonomi raksasa yang berpengaruh).
Berbagai kekacauan yang terjadi sampai hari ini di Indonesia, terutama kekacauan ekonomi, semua itu adalah karena kebijakan yang sembrono yang diterapkan sejak tahun 1980-an, yaitu kebijakan deregulasi 1983 dan liberalisasi perbankan 1988. Hal ini dilakukan sebagai reaksi instan yang tak bertanggung jawab akibat jatuhnya harga minyak dunia, setelah terjadi boom minyak tahun 1970-an. Kedua kebijakan itu jelas menunjukkan keberpihakan pada sistem ekonomi kapitalisme liberal, yang mencemari dan merusak perikehidupan rakyat Indonesia umumnya (Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar Fak. Ekonomi UGM). Boom minyak itu sepertinya menyuburkan mental manja, membangkitkan nafsu kerakusan yang melahirkan budaya korupsi sampai sekarang. membiarkan perkembangan usaha swasta yang serakah dalam bentuk konglomerasi yang kebablasan. Maka jelaslah disini bahwa proses ”swastanisasi” atau ”privatisasi” terjadi secara diam-diam bersamaan dengan berkembangnya liberalisasi dan globalisasi. Dan meningkatnya peran swasta yang dibiarkan kebablasan dan merakus justru tidak diwaspadai tapi malah ”disyukuri”.
Maka diperlukan suatu upaya rekayasa lingkungan sosial yang bebas dari segala bentuk ketidakjujuran dan manipulasi. Suatu rekayasa positif yang menyebarkan pengetahuan, pemahaman, kecintaan dan penerapan nilai kebenaran dan cinta kasih. Maka kemajuan ekonomi rakyat, yang riil dan konkrit sampai ke taraf mikro, adalah dampak positif yang terniscaya dari upaya itu.
Sosok teladan yang menjadi pedoman karakter, kesantunan, ketangguhan, dan kejujuran adalah Proklamator kita yaitu Bung Hatta. Baginya karakter berarti kejernihan dalam menilik dan menempatkan masalah secara jujur dan ilmiah, keberanian untuk tegak kokoh secara individual, dan kesediaan untuk mengkritisi diri sendiri termasuk pelbagai motif serta kecenderungan kelompok sendiri. Beda dengan Soekarno yang selalu menempatkan karakter dalam kerangka kolektivitas bangsa, bagi Hatta karakter selamanya bermula pada dan memancar dari individu, dari diri sendiri-individualitas yang dilompati begitu saja oleh Soekarno.
Hatta menginginkan agar rakyat-secara individual maupun secara kolektif- mampu berbicara untuk dirinya sendiri, tanpa "penyambung lidah." Dalam kata-kata Deliar Noer, dia tak ingin "rakyat hanya sebagai perkakas"; "rakyat itu sendirilah yang harus memimpin dirinya." Memang ada semacam individualitas luar biasa pada Soekarno, semacam supra-individualitas yang cenderung mereduksi atau men-zero-sum-kan posisi relasionalnya dengan segenap individualitas di luarnya.
Kemudian di luar itu, apakah sebenarnya yang membuat Hatta, Soekarno, dan Sjahrir beserta para pendiri republik kita umumnya begitu kukuh dalam hal integritas menyantuni nasion, pluralitas, dan sekaligus membuat mereka relatif bersih dari hawa nafsu untuk memperkaya diri dan keluarga? Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Mochtar Pabottinggi (Bung Hatta di Tengah Krisis Multidimensi Orde Baru, Kompas, 9 Agustus 2002) jawabannya tak lain dari kenyataan bahwa mereka semua bertumbuh menjadi dewasa di masa ketika sedang berlangsungnya "pencerahan" dalam politik kolonial Hindia Belanda. Diakui atau tidak, mereka adalah anak-anak dari ereschuld dan etische politiek.
Ofensif politik pencerahan itulah yang membuat mereka semua memperoleh pendidikan yang istimewa sehingga mentransformasikan mereka sebagai generasi pertama yang giat membaca dan menyingkap keadaan bangsanya sendiri maupun keadaan mancanegara serta menyatu atau bergumul dengan gagasan-gagasan yang maju dan universal. Mereka pastilah menyerap prinsip kehormatan dan etika itu melalui guru-guru liberal mereka dari Belanda, langsung maupun tak langsung. Itulah yang membuat mereka senantiasa berpihak pada bangsa sendiri dan menyantuni rakyat.
Perjalinan antara yang ideologis politis dan yang etis-terhormat ini tampaknya menjadi aksiomatis terutama jika Angkatan '28 kita bandingkan dengan Angkatan '45, khususnya para penguasa Orde Baru yang boleh dikata masih terus berkiprah hingga saat ini di ketiga cabang pemerintahan kita. Pada yang akhir ini, kepapaan ideologis politis, kemalasan membaca dan dari situ kepandiran referensi tentang riwayat dan pikiran para pejuang besar telah membuat mereka menjadi orang-orang yang paling miskin dalam hal etika dan kehormatan.
Political positioning mereka sama sekali tidak diterangi oleh intellectual positioning. Maka, jadilah para penguasa Orde Baru yang bisa memanjang hingga ke Kepresidenan saat ini orang-orang yang paling miskin integritas politik, paling tak peka membedakan ranah privat dari ranah publik, dan karena itu paling tak bermalu melahap uang rakyat (termasuk dana untuk yatim-piatu dan orang-orang telantar) seperti dalam pelbagai kasus yang melibatkan Soeharto sekeluarga-sekroni dan/atau yang misalnya "terbongkar" dalam kasus Buloggate II.
Bertumpuknya dua hal terburuk dalam sejarah politik umat manusia pada rezim Soeharto tak lain adalah lantaran para penguasa rezim ini tidak memiliki komitmen ideologis sama sekali. Jika Angkatan '28 tertolong sedikit oleh ideologi-ideologi nasionalisme, sosialisme, dan komunisme, yang membuat mereka sedikit banyaknya memiliki integritas kerakyatan, Angkatan '45 dalam versi Orde Baru sama sekali tidak tertolong.
Suatu pelajaran politik dapat ditarik. Pelajaran ini terdiri atas beberapa butir yang saling berjalin. Pertama, pemahaman para pendiri republik kita tentang demokrasi, terutama pada Soekarno sendiri, sangat miskin. Ini banyak bersumber dari sikap apriorinya sedari awal, yang lantas abai membaca prinsip-prinsip, teknik-teknik, dan kebajikan-kebajikan demokrasi. Memang ada tuntutan bahwa mereka perlu mengembangkan sistem demokrasinya sendiri, tetapi karena pemahaman awalnya sudah keliru, mereka pun tak mampu dan/atau tak berhasil menemukannya.
Kita juga tahu bahwa nasionlah yang hendak ia bela baik ketika ia menganjurkan-seiring dengan Hatta-niscayanya "demokrasi ekonomi," maupun ketika ia menafikan niscayanya keabsahan prosedural dalam demokrasi dengan mengangkat para anggota DPR GR dan MPRS tanpa pemilihan umum di awal Demokrasi Terpimpin. Akibatnya, alih-alih membina nasion dan melakukan pemerataan sumber daya ekonomi, ia justru membuka pintu lebar-lebar bagi rezim berikutnya untuk menginjak-injak nasion dan melancarkan multiplikasi kesenjangan antarsektor ekonomi dalam masyarakat Indonesia secara yang sulit dicari tandingannya di dunia. Kita dapat berkata bahwa krisis politik yang terus mendera bangsa kita sedari penyerahan kedaulatan di akhir 1949 hingga di pengujung Rezim Soeharto sudah memiliki alur logisnya.
Adalah hal yang sangat mengerikan jika landasan berpikir yang salah kaprah sejak awal, dan alur logis dari tindakan selanjutnya yang kacau balau itu diterapkan dalam usaha mengelola dan menangani masalah dalam berbagai aspek yang kompleks dalam kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat. Karena akan membuat kesengsaraan dan penderitaan masyarakat menjadi lestari dan abadi : tak tertuntaskan, dan tak terentaskan, sepanjang riwayat negara Indonesia. Dan mempertegas antusiasme terhadap budaya dan nalar kematian, daripada antusiasme terhadap budaya dan nalar yang bersemangat kehidupan dalam peradaban bangsa. Dalam segala aspek kehidupan : pendidikan, kebudayaan, kesehatan, ekonomi, politik. Kiranya pun lebih dekat dengan semangat premanisme, yaitu : berhasil sukses di atas dasar mengutamakan kepentingan diri; serta tampak gagah di atas pelecehan kepentingan orang lain dan di atas kesengsaraan masyarakat. Namun kegagahan yang ditampilkan lebih sering untuk menutupi borok kebobrokan mental dan jiwa di dalamnya. Hal itu dikarenakan tidak bisa mengendalikan dan memperhalus watak naluri manusia purbanya yang haus kenikmatan dunia dalam segala variannya.Hanya mau cepat lihat hasil, tanpa mau lihat proses, yang seringkali menghalalkan cara-cara haram. Memperoleh hasil besar dan bagus secara instan tapi selanjutnya mencelakakan. Kita memang benci penjajahan bangsa lain terhadap bangsa kita, namun ironisnya kita sering tidak sadar bahwa sebenarnya kita menjadi murid ranking satu bangsa penjajah itu, dengan menjadi penjajah atas bangsa kita sendiri!
Contoh lain yang masih berkorelasi dengan landasan berpikir yang salah kaprah adalah ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi suara para praktisi dan ahli pendidikan yang mengkritik kebijakannya mengenai ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Jusuf Kalla mengilustrasikan dunia pendidikan tak ubahnya seperti produk pakaian jadi. Sebagai konsumen, ia tidak peduli bagaimana proses pembuatan pakaian itu, karena yang penting adalah setelah jadi baju tersebut bagus atau jelek. Paralel dengan perumpamaan tersebut, dalam kaitan dengan kebijakan UN sebagai penentu kelulusan, terkesan kuat betapa pemerintah ingin segera memanen hasil yang bagus. Kuat pula kecenderungan, pemerintah menafikan kenyataan bahwa hasil itu tidak berkorelasi dengan kerja keras seperti yang diinginkan. Fenomena besar yang terjadi justru lebih banyak diperoleh dengan cara-cara yang jauh dari prinsip- prinsip dasar pendidikan yang baik. Pendidikan sebagai suatu proses diabaikan, pengembangan kepribadian ditinggalkan, yang terjadi adalah bagaimana agar peserta didik bisa lolos dari hadangan UN.Lembaga bimbingan belajar (baca: bimbingan tes) pun menjamur, bahkan pada banyak sekolah sudah masuk ruang kelas. Pada tahun terakhir menjelang pelaksanaan UN, apa yang disebut belajar lebih banyak berbentuk latihan mengerjakan soal-soal yang diprediksi akan muncul dalam UN. Lebih menyedihkan lagi, mata pelajaran lain yang tidak diujikan secara nasional tidak lagi dianggap penting.Ketika ujian berlangsung, kasak-kusuk terekam di mana-mana. Guru memberi kunci jawaban kini sudah jadi berita basi di media massa. Kecurangan menjadi hal yang biasa, bahkan cenderung ditutup-tutupi oleh kalangan birokrat pendidikan (Kompas, 13 Desember 2006).
Masih berkisar dengan pola pikir yang kacau adalah ketika Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa pendirian pabrik atau industri di tanah pertanian atau sawah yang subur dan produktif itu tidak apa-apa, adalah hal yang baik, karena satu hektar sawah hanya dikerjakan oleh empat orang, namun jika didirikan pabrik akan menyerap 2000 tenaga kerja (Liputan 6 SCTV). Hal itu disampaikannya dalam menyikapi makin sempitnya lahan pertanian subur yang beralih fungsi secara membabi buta untuk industri, perdagangan dan pemukiman. Ini menunjukkan secara gamblang masih tidak pedulinya pemerintah dan Wapres pada masalah produksi pertanian, dimana kita masih selalu mengimpor beras, kedelai, gula, daging sapi dan beberapa komoditas lainnya. Menunjukkan bahwa pemerintah hanya mementingkan keuntungan sesaat (maklum, Jusuf Kalla punya industri besar), namun tidak berkelanjutan, karena luasnya lahan pertanian berbanding lurus dengan ketersediaan pangan selanjutnya. Memangnya rakyat (manusia) disuruh makan hasil industri seperti tekstil, plastik ataupun logam? Sekali lagi ada logika yang hilang di sini. Pernyataan itu juga menunjukkan dangkalnya pengetahuan Wapres tentang kemiskinan, tata ruang dan tata kelola lingkungan hidup. Sepertinya dia tidak punya pikiran untuk membangun kawasan industri di luar Jawa, sehingga laju pembangunan menjadi rata di seluruh Indonesia. Dia juga tidak punya pikiran bahwa membangun kawasan industri di pulau Jawa yang mencaplok lahan pertanian, kemudian diimbangi dengan memperluas lahan pertanian di luar Jawa, untuk mengganti lahan pertanian yang hilang. Mungkin dia tidak tahu pula, bahwa Amerika Serikat menjadi negara maju dalam pembangunan industrinya, karena telah memperkuat dasar pertaniannya terlebih dulu, sehingga mampu memenuhi kebutuhan nasionalnya. Bahkan bisa mengekspor beberapa komoditasnya, termasuk mengekspor kedelai dan gandum ke Indonesia !
Contoh yang lain lagi tentang landasan berpikir yang kacau adalah ketika Presiden SBY mengatakan bahwa kasus Soeharto diendapkan terlebih dahulu untuk menghindari perpecahan bangsa, sampai kondisi memungkinkan untuk membuka kembali kasus itu (Seputar Indonesia RCTI, 21 Mei 2007). Ternyata Presiden kita masih setengah hati dalam mewujudkan aspirasi rakyat yang memilihnya. Dia ternyata tidak berpihak pada rakyat yang jauh lebih besar jumlahnya, sangat penting. mendasar, dan berkelanjutan, namun malah berpihak pada tirani beserta kroninya yang kecil jumlahnya yang telah menghancurkan negara selama 32 tahun. “Perpecahan bangsa” yang bagaimana dan yang mana yang dia takutkan kalau dia membuka kasus itu ? Kalau dia tidak membuka kasus ini segera, maka keamanan dan ketenangan yang tercipta selama ini menjadi semu, hambar dan kehilangan makna, karena sekaranglah kesempatan untuk membuka segala kedok kejahatan masa lalu, dan mengambil kembali uang milik rakyat dari tangan perampok-perampok yang otoriter itu. Tentu kita tidak lupa, bahwa setiap orang itu sejajar di mata hukum. Suara rakyat dalam pemilu yang telah memilihnya sepertinya belum juga membuat Presiden SBY percaya diri dan yakin untuk melakukannya. Dan ketaatannya beribadah juga masih membuatnya ragu pada Gusti Allah sehingga tidak berani mengambil tanggung jawab untuk membuka kasus Suharto. Saya tidak tahu seberat apa dosanya jika dia terus meremehkan suara rakyat dan meragukan hidayah Allah. Namun yang jelas, kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang berkelanjutanlah yang menjadi hasil tuaiannya.
Demikian kiranya tanggapan dari saya sebagai anak muda yang awam, sebagai bentuk keprihatinan atas kekacauan pola pikir yang melahirkan sistem ekonomi yang kacau dan ternyata tidak berpihak pada rakyat, namun sebaliknya, malah menyengsarakan rakyat. Tentulah tulisan ini penuh keterbatasan, akibat keterbatasan pengetahuan dan pemahaman saya sebagai manusia yang masih muda usia dan pengalaman. (disusun oleh Susetyo Basuki, Juni 2007, jika ingin mendownload ataupun mengutip isi tulisan ini, harap memberitahu penulis melalui bazoucka@gmail.com. Terima kasih)
Komentar
Posting Komentar