DEMOKRASI DALAM RUANG PUBLIK KOTA SOLO ,
klik gambar untuk memperbesar / click picture to enlarge
DEMOKRASI DALAM RUANG PUBLIK KOTA SOLO,
MEWUJUDKAN TATA RUANG YANG NGUWONGKE DAN MEMERDEKAKAN
I. PENDAHULUAN
Pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan di Kota Solo, terutama pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum ditujukan untuk mewadahi aktivitas warga kota. Juga pada rencana-rencana yang akan dilaksanakan. Semuanya cukup akomodatif terhadap kebutuhan, dengan tidak meninggalkan aspek atmosfer budaya, pola pikir dan perilaku warga kota. Serta akomodatif terhadap berbagai masukan positif dan membangun.
Semua pihak, termasuk pemerintah harus peduli pada pada penataan ruang kota, terutama untuk mewadahi aktivitas warga. Mengingat saat ini banyak Kota di Indonesia yang kurang peduli pada pembangunan ruang publik bagi warganya. Juga kurang peduli pada pelestarian, revitalisasi bangunan dan kawasan kuno. Namun sebaliknya, sangat tanggap untuk membangun fasilitas komersial yang memenuhi pertimbangan materi semata, secara sangat serampangan dan tidak berimbang, dan yang jelas sangat diskriminatif terhadap warga kota.
Karena bagaimanapun ruang publik adalah roh (spirit) sebuah kota. Ruang publik adalah penanda sekaligus sebagai karakter sebuah kota, sebagai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota-kota yang lain di Indonesia, bahkan di dunia. Perancangan dan penciptaan ruang publik didasarkan dan ditujukan bagi suatu bentuk kualitas kehidupan masyarakat yang positif. Ruang publik juga menjadi tolok ukur kedinamisan dan kualitas hubungan sosialnya, serta kualitas kepedulian pemerintah terhadap warganya. Banyak kota di dunia yang termasyhur karena ruang publiknya, di mana masyarakat dapat datang dan beraktivitas di sana tanpa perlu membayar.
Solo dengan segala kearifan lokalnya, kebijakan para pendahulu dan pendiri kota yang sangat brilian, ditambah atmosfer karakter kotanya sebagai kota kerajaan yang sangat memegang teguh budaya dan tradisinya, telah menyediakan banyak ruang publik bagi aktivitas, kemajuan dan kesinambungan kehidupan warga kotanya. Adalah sangat sayang jika ruang-ruang publik yang indah dan agung itu dialihfungsikan begitu saja untuk fungsi yang bukan mewadahi aktivitas publik. Karena hal itu adalah peruntukan lahan yang khusus dan khas, yang bahkan telah dipikirkan dan dipertimbangkan sejak para leluhur kita. Hal ini dapat juga dikemukakan untuk menyikapi kawasan publik Sriwedari yang saat ini dalam proses persengketaan.
Semua pihak, termasuk pemerintah harus peduli pada pada penataan ruang kota, terutama untuk mewadahi aktivitas warga. Mengingat saat ini banyak Kota di Indonesia yang kurang peduli pada pembangunan ruang publik bagi warganya. Juga kurang peduli pada pelestarian, revitalisasi bangunan dan kawasan kuno. Namun sebaliknya, sangat tanggap untuk membangun fasilitas komersial yang memenuhi pertimbangan materi semata, secara sangat serampangan dan tidak berimbang, dan yang jelas sangat diskriminatif terhadap warga kota.
Karena bagaimanapun ruang publik adalah roh (spirit) sebuah kota. Ruang publik adalah penanda sekaligus sebagai karakter sebuah kota, sebagai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota-kota yang lain di Indonesia, bahkan di dunia. Perancangan dan penciptaan ruang publik didasarkan dan ditujukan bagi suatu bentuk kualitas kehidupan masyarakat yang positif. Ruang publik juga menjadi tolok ukur kedinamisan dan kualitas hubungan sosialnya, serta kualitas kepedulian pemerintah terhadap warganya. Banyak kota di dunia yang termasyhur karena ruang publiknya, di mana masyarakat dapat datang dan beraktivitas di sana tanpa perlu membayar.
Solo dengan segala kearifan lokalnya, kebijakan para pendahulu dan pendiri kota yang sangat brilian, ditambah atmosfer karakter kotanya sebagai kota kerajaan yang sangat memegang teguh budaya dan tradisinya, telah menyediakan banyak ruang publik bagi aktivitas, kemajuan dan kesinambungan kehidupan warga kotanya. Adalah sangat sayang jika ruang-ruang publik yang indah dan agung itu dialihfungsikan begitu saja untuk fungsi yang bukan mewadahi aktivitas publik. Karena hal itu adalah peruntukan lahan yang khusus dan khas, yang bahkan telah dipikirkan dan dipertimbangkan sejak para leluhur kita. Hal ini dapat juga dikemukakan untuk menyikapi kawasan publik Sriwedari yang saat ini dalam proses persengketaan.
_________________________________________
“Di dalam sekolah-sekolah rakyat sudah harus diusahakan untuk menanam dan memupuk suatu tanggapan.jiwa yang baru. Suatu tanggapan jiwa yang akan mendorong si anak itu untuk melihat lingkungannya sendiri sebagai suatu susunan yang bukan tetap dan tidak langgeng sebagai sesuatu yang dapat diatur secara lebih bermanfaat. Ia harus dibimbing sampai yakin bahwa ia dapat mengubah dan memperbaiki lingkungan hidupnya itu dengan mencapai suatu tingkat produksi yang lebih tinggi. Si murid itu harus dibiasakan menggunakan teknologi yang serba sederhana, tetapi moderen. la harus mengetahui bahwa lingkungan hidup baginya tidak terbatas pada batas-batas desanya yang dikenalnya sekarang... Agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik, maka pertama-tama keharusan kita untuk menempuh jalan pembangunan ekonomi ini harus lebih dirasakan dari pada sekarang. Perlu juga kita lebih sadar sejak sekarang tentang kenyataan bahwa pembangunan ekonomi itu bukan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya... Sebab kesadaran dan penjernihan pikiran adalah syarat mutlak untuk memupuk serta membimbing hasrat kita untuk membangun.” (Dr. Soedjatmoko – Mantan Rektor Universitas PBB)
“Di dalam sekolah-sekolah rakyat sudah harus diusahakan untuk menanam dan memupuk suatu tanggapan.jiwa yang baru. Suatu tanggapan jiwa yang akan mendorong si anak itu untuk melihat lingkungannya sendiri sebagai suatu susunan yang bukan tetap dan tidak langgeng sebagai sesuatu yang dapat diatur secara lebih bermanfaat. Ia harus dibimbing sampai yakin bahwa ia dapat mengubah dan memperbaiki lingkungan hidupnya itu dengan mencapai suatu tingkat produksi yang lebih tinggi. Si murid itu harus dibiasakan menggunakan teknologi yang serba sederhana, tetapi moderen. la harus mengetahui bahwa lingkungan hidup baginya tidak terbatas pada batas-batas desanya yang dikenalnya sekarang... Agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik, maka pertama-tama keharusan kita untuk menempuh jalan pembangunan ekonomi ini harus lebih dirasakan dari pada sekarang. Perlu juga kita lebih sadar sejak sekarang tentang kenyataan bahwa pembangunan ekonomi itu bukan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya... Sebab kesadaran dan penjernihan pikiran adalah syarat mutlak untuk memupuk serta membimbing hasrat kita untuk membangun.” (Dr. Soedjatmoko – Mantan Rektor Universitas PBB)
II. PERMASALAHAN TATA RUANG KOTA SOLO
Sebenarnya konsep para pendahulu kita dalam tata ruang kota, terutama koridor jalan sangat cerdas, namun sepertinya karena analisis kebutuhan ruang yang kurang cermat, besaran ruang yang nanggung dan kurang memadai, ditambah mutu pengerjaan dan finishing yang kurang baik, maka hasilnya menjadi tidak kompak, sehingga kurang dapat digunakan secara semestinya oleh obyek yang menjadi sasaran, sehingga mengundang peruntukan bagi fungsi lain yang tidak pada tempatnya.
Ditambah kurangnya perawatan dan ketidaksadaran warga yang memperparah keadaan jalur sirkulasi itu. Maka hasil proyek akan menjadi sebuah kerugian. Maka pada saat inilah tepat kiranya untuk membenahi dan mereformasi tatanan ruang publik semaksimal mungkin. Dengan ketelitian dan ketegasan desain, yang didasari komunikasi yang intens dan akrab, serta melibatkan aspirasi dan partisipasi segenap warga kota, maka tujuan perencanaan dan desain akan dapat dicapai dengan baik, dalam arti berfokus pada proyeksi ke masa depan dan jangka panjang, memberi spirit baru yang menyegarkan, dapat bertahan lama, serta tidak menimbulkan kerugian baik dalam fungsi, aspek sosial-budaya, ekonomi, maupun keamanan.
Memang para pendahulu masih dalam kondisi penuh keterbatasan ketika menata kota, maka saatnya generasi sekaranglah untuk menindaklanjuti dengan memperbaiki dan membaharuinya.
Generasi masa kini adalah jawaban dari cita-cita generasi di masa lalu, yaitu harapan rakyat di masa lalu yang terakumulasi oleh para pendiri dan pemimpin masyarakat di masa lalu. Tentu saja mereka merancang, merintis dan membangun kota dengan semangat yang sesuai kebutuhan pada masanya, kontekstual dengan budaya dan tata nilai masyarakat setempat dan berkelanjutan, supaya dapat digunakan, diteruskan, serta diperbaharui oleh generasi mendatang.
Selain kepedulian, diperlukan pula komitmen yang dijalankan dengan setia dan penuh dengan krestivitas dalam membangun Kota Solo yang adiluhung ini. Ini terbukti dengan pembangunan-pembangunan yang telah dilaksanakan – terutama pembangunan infrastruktur dan fasilitas kota yang mewadahi aktivitas warga kota. Juga dapat dilihat pada rencana-rencana yang sedang dan akan dilaksanakan. Semuanya sangat akomodatif terhadap kebutuhan, dengan tidak meninggalkan aspek atmosfer budaya dan pola pikir dan perilaku warga kota. Serta memperbaharui bahkan menciptakan atmosfer budaya, serta terhadap pola pikir dan perilaku warganya. Serta sangat akomodatif terhadap berbagai masukan yang positif dan membangun.
Sebenarnya konsep para pendahulu kita dalam tata ruang kota, terutama koridor jalan sangat cerdas, namun sepertinya karena analisis kebutuhan ruang yang kurang cermat, besaran ruang yang nanggung dan kurang memadai, ditambah mutu pengerjaan dan finishing yang kurang baik, maka hasilnya menjadi tidak kompak, sehingga kurang dapat digunakan secara semestinya oleh obyek yang menjadi sasaran, sehingga mengundang peruntukan bagi fungsi lain yang tidak pada tempatnya.
Ditambah kurangnya perawatan dan ketidaksadaran warga yang memperparah keadaan jalur sirkulasi itu. Maka hasil proyek akan menjadi sebuah kerugian. Maka pada saat inilah tepat kiranya untuk membenahi dan mereformasi tatanan ruang publik semaksimal mungkin. Dengan ketelitian dan ketegasan desain, yang didasari komunikasi yang intens dan akrab, serta melibatkan aspirasi dan partisipasi segenap warga kota, maka tujuan perencanaan dan desain akan dapat dicapai dengan baik, dalam arti berfokus pada proyeksi ke masa depan dan jangka panjang, memberi spirit baru yang menyegarkan, dapat bertahan lama, serta tidak menimbulkan kerugian baik dalam fungsi, aspek sosial-budaya, ekonomi, maupun keamanan.
Memang para pendahulu masih dalam kondisi penuh keterbatasan ketika menata kota, maka saatnya generasi sekaranglah untuk menindaklanjuti dengan memperbaiki dan membaharuinya.
Generasi masa kini adalah jawaban dari cita-cita generasi di masa lalu, yaitu harapan rakyat di masa lalu yang terakumulasi oleh para pendiri dan pemimpin masyarakat di masa lalu. Tentu saja mereka merancang, merintis dan membangun kota dengan semangat yang sesuai kebutuhan pada masanya, kontekstual dengan budaya dan tata nilai masyarakat setempat dan berkelanjutan, supaya dapat digunakan, diteruskan, serta diperbaharui oleh generasi mendatang.
Selain kepedulian, diperlukan pula komitmen yang dijalankan dengan setia dan penuh dengan krestivitas dalam membangun Kota Solo yang adiluhung ini. Ini terbukti dengan pembangunan-pembangunan yang telah dilaksanakan – terutama pembangunan infrastruktur dan fasilitas kota yang mewadahi aktivitas warga kota. Juga dapat dilihat pada rencana-rencana yang sedang dan akan dilaksanakan. Semuanya sangat akomodatif terhadap kebutuhan, dengan tidak meninggalkan aspek atmosfer budaya dan pola pikir dan perilaku warga kota. Serta memperbaharui bahkan menciptakan atmosfer budaya, serta terhadap pola pikir dan perilaku warganya. Serta sangat akomodatif terhadap berbagai masukan yang positif dan membangun.
________________________________________________________________
“Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara.” (Dr. Kwik Kian Gie)
“Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara.” (Dr. Kwik Kian Gie)
Dalam foto udara kota Solo, terlihat jelas rasio ruang terbuka kota dengan fungsi-fungsi lainnya seperti pemukiman, komersial dan industri, sudah tidak seimbang, sehingga kurang memadai lagi (untuk tidak mengatakan sudah tidak sehat). Maka perlu dibuat ruang terbuka baru dan kawasan hutan kota, dengan memanfaatkan lahan-lahan kritis yang terbengkalaikan.
III. USULAN EKSPERIMEN JALUR PEDESTRIAN UNTUK MENDUKUNG KEANDALAN RUANG PUBLIK KOTA SOLO
Penerapan pada jalur pedestrian terutama di jalan utama yang melewati kawasan padat penduduk, yang nantinya selain menjadi koridor sirkulasi lalu lintas kendaraan, juga lebih pada sebagai koridor utama sirkulasi pejalan kaki (pedestrian way). Dimulai dengan patokan beberapa sumbu timur-barat, kemudian ditarik beberapa sumbu penghubung utara-selatan.
Sumbu timur-barat (pada peta digambarkan dengan garis merah), yaitu :
1. Pasar Klithikan Semanggi (Notoharjo) – Jln. Kyai Mojo – Baturono – Gading – Gemblegan – Tipes (Jln. Veteran)
2. Jln. Coyudan - Dr. Rajiman, dimulai dari Alun-alun Utara - Pasar Klewer – Coyudan – Singosaren – Pasar Kembang – Baron – Laweyan – Pasar Jongke.
3. Sumbu utama kota Jln. Slamet Riyadi, dimulai dari stasiun Solo Kota – Pasar kliwon – Gladag – Slamet Riyadi – batas kota di Kleco.
4. Sumbu Tugu Banjarsari/ Pasar Legi – Stasiun Balapan – Pasar Nongko – Stadion Manahan – Jln. Adisutjipto – Batas Kota/ Tugu Adipura di Karang Asem.
5. Sumbu Jln. RM Said, dimulai dari Mangkunegaran sampai Balekambang.
6. Sumbu Tugu Banjarsari – Jln. Monginsidi – Panggung – Jln. Sutarto – RSUP Jebres – Jln. Sutami/ Ki Hajar Dewantara – ISI/UNS – Jurug
7. Jln. Adi Sumarmo, dari Pasar Nusukan ke Banyuanyar
8. Jln. Sam Ratulangi – Kelud
9. Jln. Kusmanto – Ronggo warsito (Mangkunegaran) – Worawari
10. Jln. A. Yani – Tentara Pelajar (Kerten – Tirtonadi – Ngemplak – Kandang Sapi – Pedaringan)
11. Jln. Yosodipuro (Mangkunegaran – Kottabarat)
12. Jln. Juanda – Sutan Syahrir (Pucang Sawit – Kepatihan – Pasar Legi)
III. USULAN EKSPERIMEN JALUR PEDESTRIAN UNTUK MENDUKUNG KEANDALAN RUANG PUBLIK KOTA SOLO
Penerapan pada jalur pedestrian terutama di jalan utama yang melewati kawasan padat penduduk, yang nantinya selain menjadi koridor sirkulasi lalu lintas kendaraan, juga lebih pada sebagai koridor utama sirkulasi pejalan kaki (pedestrian way). Dimulai dengan patokan beberapa sumbu timur-barat, kemudian ditarik beberapa sumbu penghubung utara-selatan.
Sumbu timur-barat (pada peta digambarkan dengan garis merah), yaitu :
1. Pasar Klithikan Semanggi (Notoharjo) – Jln. Kyai Mojo – Baturono – Gading – Gemblegan – Tipes (Jln. Veteran)
2. Jln. Coyudan - Dr. Rajiman, dimulai dari Alun-alun Utara - Pasar Klewer – Coyudan – Singosaren – Pasar Kembang – Baron – Laweyan – Pasar Jongke.
3. Sumbu utama kota Jln. Slamet Riyadi, dimulai dari stasiun Solo Kota – Pasar kliwon – Gladag – Slamet Riyadi – batas kota di Kleco.
4. Sumbu Tugu Banjarsari/ Pasar Legi – Stasiun Balapan – Pasar Nongko – Stadion Manahan – Jln. Adisutjipto – Batas Kota/ Tugu Adipura di Karang Asem.
5. Sumbu Jln. RM Said, dimulai dari Mangkunegaran sampai Balekambang.
6. Sumbu Tugu Banjarsari – Jln. Monginsidi – Panggung – Jln. Sutarto – RSUP Jebres – Jln. Sutami/ Ki Hajar Dewantara – ISI/UNS – Jurug
7. Jln. Adi Sumarmo, dari Pasar Nusukan ke Banyuanyar
8. Jln. Sam Ratulangi – Kelud
9. Jln. Kusmanto – Ronggo warsito (Mangkunegaran) – Worawari
10. Jln. A. Yani – Tentara Pelajar (Kerten – Tirtonadi – Ngemplak – Kandang Sapi – Pedaringan)
11. Jln. Yosodipuro (Mangkunegaran – Kottabarat)
12. Jln. Juanda – Sutan Syahrir (Pucang Sawit – Kepatihan – Pasar Legi)
___________________________________________
“Membangun, pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia menghadapi imperatif perubahan. Karena, suka atau tidak suka, dirancang atau tidak dirancang, perubahan akan dihadapi oleh manusia. Perubahan itu terjadi pada diri manusia sendiri, pada lingkungan masyarakat di mana ia berada dan pada tuntutantuntutan agar ia bisa mempertahankan, menjaga dan meningkatkan survivalnya. Proses dan akibat perubahan itu akan dihadapi oleh semua manusia dan seluruh anggota masyarakat. Ada dua pilihan bagi manusia dalam menghadapi imperatif perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan perubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan manusia menerima saja keharusan dan akibat perubahan itu, dan menyerahkan semuanya pada kehendak 'nasib'. Atau, berikhtiar menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.” (Soetjipto Wirosardjono, MSc – Mantan Wakil Kepala BPS).
“Membangun, pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia menghadapi imperatif perubahan. Karena, suka atau tidak suka, dirancang atau tidak dirancang, perubahan akan dihadapi oleh manusia. Perubahan itu terjadi pada diri manusia sendiri, pada lingkungan masyarakat di mana ia berada dan pada tuntutantuntutan agar ia bisa mempertahankan, menjaga dan meningkatkan survivalnya. Proses dan akibat perubahan itu akan dihadapi oleh semua manusia dan seluruh anggota masyarakat. Ada dua pilihan bagi manusia dalam menghadapi imperatif perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan perubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan manusia menerima saja keharusan dan akibat perubahan itu, dan menyerahkan semuanya pada kehendak 'nasib'. Atau, berikhtiar menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.” (Soetjipto Wirosardjono, MSc – Mantan Wakil Kepala BPS).
Kemudian dirangkai dengan sumbu Utara – Selatan (pada peta digambarkan dengan garis biru), yaitu :
1. Perumahan Mojosongo – Jln. Brigjen Katamso – Kandang Sapi – Panggung – Jln. Urip Sumoharjo – Pasar Gedhe – Jln. Sudirman – Gladag.
2. Jln. Sugiono, dari batas utara kota – Kadipiro – Ngemplak – kawasan Tugu Banjarsari.
3. Jln. Tendean – Pasar Nusukan – Terminal Tirtonadi – Jln. Setia Budi – Jln. MT Haryono – Kawasan Stadion Manahan.
4. Jln. Mangunkusumo – Jln. Bhayangkara
5. Jln. Honggowongso – Jln. Gajah Mada
6. Jln. Diponegoro – Gatot Subroto – Yudistira (Serengan)
7. Jln. A. Dahlan – Yos Sudarso
8. Alun-Alun Kidul – Jln. Sudarto (Gading Kidul)
9. Jln. Muwardi - Wahidin
10. Jln. Kapten Mulyadi, dimulai dari Balong – Pasar Kliwon – Baturono.
11. Jln. Hasanudin – Perintis Kemerdekaan
12. Jln. Supomo
13. Jln. Suprapto
Ditambah dengan pavingisasi dan tamanisasi jalan-jalan seputar kawasan Stadion Manahan, Taman Balekambang, serta Pasar Burung Depok. Sehingga kawasan itu menjadi ramah terhadap pejalan kaki, dan akhirnya terjadi sebuah kesinambungan ruang publik.
Juga dirangkai jalur pedestrian yang meliputi kawasan-kawasan kecil pemukiman atau perkampungan. Seperti pada kawasan pasar Gedhe, Kratonan, Sudiroprajan, Jero Beteng Karaton Surakarta, Pasar Kliwon, Laweyan, Baron, Sriwedari, Purwosari, Panularan dan Kepatihan.
Memang, untuk menindaklanjuti usulan di atas, diperlukan daya, upaya, waktu dan dana yang tidak sedikit. Namun dengan komitmen dan kekompakan antara pemerintah dan warga Kota Solo, niscaya akan dapat diwujudkan. Tentu dengan proses yang bertahap secara terencana, berdasarkan akuntabilitas yang jujur, bersih dan adil. Karakter serta pembiasaan sikap dan perilaku terpuji itu, sebagai wujud penghargaan dan penghormatan terhadap seluruh warga kota, serta para pendahulu yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berkota.
1. Perumahan Mojosongo – Jln. Brigjen Katamso – Kandang Sapi – Panggung – Jln. Urip Sumoharjo – Pasar Gedhe – Jln. Sudirman – Gladag.
2. Jln. Sugiono, dari batas utara kota – Kadipiro – Ngemplak – kawasan Tugu Banjarsari.
3. Jln. Tendean – Pasar Nusukan – Terminal Tirtonadi – Jln. Setia Budi – Jln. MT Haryono – Kawasan Stadion Manahan.
4. Jln. Mangunkusumo – Jln. Bhayangkara
5. Jln. Honggowongso – Jln. Gajah Mada
6. Jln. Diponegoro – Gatot Subroto – Yudistira (Serengan)
7. Jln. A. Dahlan – Yos Sudarso
8. Alun-Alun Kidul – Jln. Sudarto (Gading Kidul)
9. Jln. Muwardi - Wahidin
10. Jln. Kapten Mulyadi, dimulai dari Balong – Pasar Kliwon – Baturono.
11. Jln. Hasanudin – Perintis Kemerdekaan
12. Jln. Supomo
13. Jln. Suprapto
Ditambah dengan pavingisasi dan tamanisasi jalan-jalan seputar kawasan Stadion Manahan, Taman Balekambang, serta Pasar Burung Depok. Sehingga kawasan itu menjadi ramah terhadap pejalan kaki, dan akhirnya terjadi sebuah kesinambungan ruang publik.
Juga dirangkai jalur pedestrian yang meliputi kawasan-kawasan kecil pemukiman atau perkampungan. Seperti pada kawasan pasar Gedhe, Kratonan, Sudiroprajan, Jero Beteng Karaton Surakarta, Pasar Kliwon, Laweyan, Baron, Sriwedari, Purwosari, Panularan dan Kepatihan.
Memang, untuk menindaklanjuti usulan di atas, diperlukan daya, upaya, waktu dan dana yang tidak sedikit. Namun dengan komitmen dan kekompakan antara pemerintah dan warga Kota Solo, niscaya akan dapat diwujudkan. Tentu dengan proses yang bertahap secara terencana, berdasarkan akuntabilitas yang jujur, bersih dan adil. Karakter serta pembiasaan sikap dan perilaku terpuji itu, sebagai wujud penghargaan dan penghormatan terhadap seluruh warga kota, serta para pendahulu yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berkota.
__________________________________________________________________________________________
“Tidak jarang terjadi rakyat kecil digusur dengan alasan rehabilitasi fisik lingkungan, peningkatan kesehatan, estetika seni tata wilayah, pemberantasan kriminalitas, dan sebagainya. Namun, sayang, sangat mudah itu semua dimanfaatkan salah sebagai dalih belaka untuk mendirikan perusahaan, real estate, bank, hotel, dan sebagainya, yang sebetulnya hanya untuk mengabdi kepentingan suatu kelompok atau lapisan orang saja. Dan semua itu dengan meng-atasnamakan seluruh masyarakat dan dengan predikat demi kepentingan umum. Padahal, tidak.” (YB Mangun Wijaya)
“Tidak jarang terjadi rakyat kecil digusur dengan alasan rehabilitasi fisik lingkungan, peningkatan kesehatan, estetika seni tata wilayah, pemberantasan kriminalitas, dan sebagainya. Namun, sayang, sangat mudah itu semua dimanfaatkan salah sebagai dalih belaka untuk mendirikan perusahaan, real estate, bank, hotel, dan sebagainya, yang sebetulnya hanya untuk mengabdi kepentingan suatu kelompok atau lapisan orang saja. Dan semua itu dengan meng-atasnamakan seluruh masyarakat dan dengan predikat demi kepentingan umum. Padahal, tidak.” (YB Mangun Wijaya)
IV. MEMBERDAYAKAN KAMPUNG
Kota Surakarta adalah kota yang terpadat di Jawa Tengah. Solo, secara sosial budaya, selain tersusun dari pemukiman kaum ningrat, juga tersusun dari kelompok-kelompok pemukiman warga biasa yang disebut “kampung”. Di kampung-kampung inilah aktivitas masyarakat dilakukan. Bahkan di banyak tempat, rumah-rumah mereka dijadikan tempat bekerja juga. Kampung menjadi sebuah tempat yang sangat efektif dan efisien bagi aktivitas ekonomi warga. Juga menjadi sebuah tempat berinteraksi sosial dan mengadakan kegiatan seni-budaya. Kampung di perkotaan, terutama di Solo adalah sebuah salinan atau duplikasi, bisa juga disebut miniatur kehidupan pedusunan / pedesaan tradisional yang bersifat agraris, dalam versinya yang padat penduduk. Kampung sangat kaya dengan kemampuan individu penghuninya dalam bidang pertukangan/kriya (craftmanship). Kampung, dengan demikian menjadi sebuah jalinan “one-stop activity and living” yang sangat kontekstual, membumi, sekaligus fleksibel dan aksesibel dalam menghadapi segala perubahan dalam skala yang lebih luas (makro : politik, sosbud, ekonomi, dll).
Kota Magelang 18,12 km2, 119.400 jiwa = 6.589,40 jiwa/km2
Kota Surakarta 44,03 km2, 552.542 jiwa = 12.549,22 jiwa/km2
Kota Salatiga 52,96 km2, 158.112 jiwa = 2.985,50 jiwa/km2
Kota Semarang 373,67 km2, 1.389.416 jiwa = 3.718,30 jiwa/km2
Kota Pekalongan 44,96 km2, 271.418 jiwa = 6.036,88 jiwa/km2
Kota Tegal 34,49 km2, 242.112 jiwa = 7.019,77 jiwa/km2
Sumber : Survey Sosial Ekonomi BPS, 2004
Kampung dengan segala kemanusiawiannya menjadi sebuah tempat jalinan persahabatan dan persaudaraan yang kental, hangat, namun bersahaja. Oleh karena itu dalam perkembangannya ke depan, komunitas kampung haruslah bisa mendesain diri untuk menjadi semakin kuat dan terjaga vitalitasnya sebagai subyek aktif pengisi kota yang manusiawi. Maka langkah-langkah harus diambil, termasuk desain arsitektur. Tentu saja desain arsitektur yang juga berasal dari peran aktif dan aspirasi masyarakat kampung setempat. Dengan harapan supaya kampung tetap berperan sebagai pembentuk kehidupan sosial-budaya kota yang manusiawi, sehingga manusia-manusia penghuninya (warganya) semakin dapat berperan dalam pembangunan kota, dan tetap mengikuti perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi, diperkuat dengan kearifan lokalnya yang sangat bisa diandalkan.
Kota Surakarta adalah kota yang terpadat di Jawa Tengah. Solo, secara sosial budaya, selain tersusun dari pemukiman kaum ningrat, juga tersusun dari kelompok-kelompok pemukiman warga biasa yang disebut “kampung”. Di kampung-kampung inilah aktivitas masyarakat dilakukan. Bahkan di banyak tempat, rumah-rumah mereka dijadikan tempat bekerja juga. Kampung menjadi sebuah tempat yang sangat efektif dan efisien bagi aktivitas ekonomi warga. Juga menjadi sebuah tempat berinteraksi sosial dan mengadakan kegiatan seni-budaya. Kampung di perkotaan, terutama di Solo adalah sebuah salinan atau duplikasi, bisa juga disebut miniatur kehidupan pedusunan / pedesaan tradisional yang bersifat agraris, dalam versinya yang padat penduduk. Kampung sangat kaya dengan kemampuan individu penghuninya dalam bidang pertukangan/kriya (craftmanship). Kampung, dengan demikian menjadi sebuah jalinan “one-stop activity and living” yang sangat kontekstual, membumi, sekaligus fleksibel dan aksesibel dalam menghadapi segala perubahan dalam skala yang lebih luas (makro : politik, sosbud, ekonomi, dll).
Kota Magelang 18,12 km2, 119.400 jiwa = 6.589,40 jiwa/km2
Kota Surakarta 44,03 km2, 552.542 jiwa = 12.549,22 jiwa/km2
Kota Salatiga 52,96 km2, 158.112 jiwa = 2.985,50 jiwa/km2
Kota Semarang 373,67 km2, 1.389.416 jiwa = 3.718,30 jiwa/km2
Kota Pekalongan 44,96 km2, 271.418 jiwa = 6.036,88 jiwa/km2
Kota Tegal 34,49 km2, 242.112 jiwa = 7.019,77 jiwa/km2
Sumber : Survey Sosial Ekonomi BPS, 2004
Kampung dengan segala kemanusiawiannya menjadi sebuah tempat jalinan persahabatan dan persaudaraan yang kental, hangat, namun bersahaja. Oleh karena itu dalam perkembangannya ke depan, komunitas kampung haruslah bisa mendesain diri untuk menjadi semakin kuat dan terjaga vitalitasnya sebagai subyek aktif pengisi kota yang manusiawi. Maka langkah-langkah harus diambil, termasuk desain arsitektur. Tentu saja desain arsitektur yang juga berasal dari peran aktif dan aspirasi masyarakat kampung setempat. Dengan harapan supaya kampung tetap berperan sebagai pembentuk kehidupan sosial-budaya kota yang manusiawi, sehingga manusia-manusia penghuninya (warganya) semakin dapat berperan dalam pembangunan kota, dan tetap mengikuti perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi, diperkuat dengan kearifan lokalnya yang sangat bisa diandalkan.
_________________________________________
“Konsep kemandirian ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang ekonomi,tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (sef-confidence). Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam pengertian sosial atau pergaulan antar manusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (sef-organization) atau manajemen diri (self-management). Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Pada aras ini, pencarian pola yang tepat, agar interaksi antar unsur selalu mencapai keseimbangan, menjadi sangat penting. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya. Proseskemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung”. (Drs. Banbang Ismawan, M.Sc., Ketua Yayasan BinaSwadaya)
Mengapa didesain? Kampung adalah sebuah keluarga besar yang sangat bernuansa informal dan kekeluargaan. Maka dalam membangun rumah, fasilitas umum, ruang publik serta jalan, tak lepas dari semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Dengan cara ini biasanya diadakan rembugan atau musyawarah untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Semangat ini sudah sangat baik, dan pantas dikembangkan. Namun ada kekurangan dari sebagian warga kampung, yaitu pengetahuan dan keterampilan. Baik pengetahuan tentang teknik membangun yang benar, pengetahuan tentang peraturan daerah tentang bangunan, persentase lahan hijau dan pengadaan ruang komunal terbuka (dua hal ini juga harus mendapat perhatian dari pemerintah kota).
Demikian juga kurangnya pengetahuan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, pengusaha, pedagang, institusi pendidikan dan kalangan pemangku kepentingan yang lain tentang pengetahuan-pengetahuan yang telah disebutkan di atas, termasuk dalam cakupan yang lebih luas dan skala yang lebih besar.
Dalam mendesain ini, tentu peran serta pemerintah sangat diharapkan untuk memberikan pandangan umum dan membuat blue print yang kontekstual dan membumi dengan kondisi sosial-budaya dan ekonomi setempat. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, kampung tidak saja dapat bertahan, namun lebih dari itu, yaitu sebagai faktor kemajuan. Kampung tidak dianggap enteng, hanya dianggap sebagai “halaman belakang” sebuah kota, sehingga bisa seenaknya digusur sebagai bangunan komersial dan pemukiman mewah, bagi warga kelas ekonomi atas yang kurang manusiawi. Seiring dengan itu, kampung menjadi sebuah penyaring nilai-nilai negatif yang berasal dari luar yang bisa memecah persatuan bangsa, merusak generasi muda, dan memperlemah semangat dan kemampuan kerja warganya.
Sebagai sebuah tempat “one-stop activity and living” dan kantong persaudaraan, atau keduanya bisa dirangkaikan, dan layak disebut “activity and social-cultural brotherhood living mall”; kampung menjadi tempat yang sangat potensial bagi perkembangan dan masa depan sebuah kota. Memang ada beberapa kampung yang telah dicap negatif oleh masyarakat. Namun dengan pendampingan dan usaha untuk memanusiakan mereka, maka diharapkan, kampung meningkat menjadi kantong kemandirian kota.
Kampung juga dikembangkan sebagai ruang pertumbuhan yang sinergis antara pertumbuhan sosial-budaya dan ekonomi. Kampung dengan segala kekayaan sosio-kulturalnya yang khas, kiranya dapat pula layak dijadikan tempat tujuan berwisata. Yang ditawarkan adalah wisata arsitektur perkampungan, dan aktivitas warganya yang khas, serta pola interaksi sosial masyarakatnya yang ramah. Wisatawan di situ tidak menjadi penonton yang pasif, atau diharuskan sekedar melihat-lihat,
Demikian juga kurangnya pengetahuan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, pengusaha, pedagang, institusi pendidikan dan kalangan pemangku kepentingan yang lain tentang pengetahuan-pengetahuan yang telah disebutkan di atas, termasuk dalam cakupan yang lebih luas dan skala yang lebih besar.
Dalam mendesain ini, tentu peran serta pemerintah sangat diharapkan untuk memberikan pandangan umum dan membuat blue print yang kontekstual dan membumi dengan kondisi sosial-budaya dan ekonomi setempat. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, kampung tidak saja dapat bertahan, namun lebih dari itu, yaitu sebagai faktor kemajuan. Kampung tidak dianggap enteng, hanya dianggap sebagai “halaman belakang” sebuah kota, sehingga bisa seenaknya digusur sebagai bangunan komersial dan pemukiman mewah, bagi warga kelas ekonomi atas yang kurang manusiawi. Seiring dengan itu, kampung menjadi sebuah penyaring nilai-nilai negatif yang berasal dari luar yang bisa memecah persatuan bangsa, merusak generasi muda, dan memperlemah semangat dan kemampuan kerja warganya.
Sebagai sebuah tempat “one-stop activity and living” dan kantong persaudaraan, atau keduanya bisa dirangkaikan, dan layak disebut “activity and social-cultural brotherhood living mall”; kampung menjadi tempat yang sangat potensial bagi perkembangan dan masa depan sebuah kota. Memang ada beberapa kampung yang telah dicap negatif oleh masyarakat. Namun dengan pendampingan dan usaha untuk memanusiakan mereka, maka diharapkan, kampung meningkat menjadi kantong kemandirian kota.
Kampung juga dikembangkan sebagai ruang pertumbuhan yang sinergis antara pertumbuhan sosial-budaya dan ekonomi. Kampung dengan segala kekayaan sosio-kulturalnya yang khas, kiranya dapat pula layak dijadikan tempat tujuan berwisata. Yang ditawarkan adalah wisata arsitektur perkampungan, dan aktivitas warganya yang khas, serta pola interaksi sosial masyarakatnya yang ramah. Wisatawan di situ tidak menjadi penonton yang pasif, atau diharuskan sekedar melihat-lihat,
___________________________________________________________
DEMIKIANLAH arsitektur kota dibuat menegaskan kembali dirinya sebagai museum terbesar dan terjujur, yang merekam sejarah dengan semua ironi, tragedi, dan komedi apa adanya. Bahkan melalui reruntuhannya sekalipun, yang mudah-mudahan memberikan pertanda kepada kehidupan publik kita: Mei 1998 jangan terulang! Akhirnya tersisa satu pertanyaan: ketimbang membuat kesenian yang bongkar pasang dan sementara di dalam ruang kota, mengapa kita tidak membangun kota yang bersni, dengan menerapkan kesenian bermutu langsung pada fasilitas kota yang fungsional (misalnya: halte bus yang tidak bocor)? (Marco Kusumawijaya)
membeli, lalu pulang. Namun wisatawan dapat pula berinteraksi, aktif dengan warga setempat, ikut dalam sebagian aktivitasnya, walaupun hanya sekedar mencoba, memenuhi rasa ingin tahu, sehingga tidak menjadi orang asing lagi (apalagi wisatawan domestik : supaya tahu khasanah budaya bangsanya, mengembangkan solidaritas, persatuan dan empati sesama anak bangsa).
Maka revitalisasi kampung sangat diperlukan, dengan terlebih dulu merevitalisasikan segenap potensi, dan membangkitkan lagi vitalitas dan kekuatan kemandirian warganya sampai ke individu, membangkitkan lagi serta meningkatkan kemampuan kerjanya yang khas, serta kegiatan-kegiatan seni-budaya. Bagaimana pun, kampung adalah sebuah warisan budaya sosialisasi dan interaksi budaya kota yang khas, serta menyimpan banyak potensi dan energi vitalitas warganya yang belum disadari.
Dalam era globalisasi ini, seyogyanya kita tidak lagi menganut dikotomi kampung–pemukiman elit / pusat kota. Di mana kampung selalu diposisikan tertinggal daripada pemikiman elit/ pusat kota. Maka tugas kita untuk selalu memacu pertumbuhan dan kemajuan desa lahir batin, sebagai basis kearifan, kerukunan, dan kelestarian lingkungan hidup. Dari situlah tempat dan iklim yang sesuai untuk mengusahakan kemandirian ekonomi, tata sosial kebudayaan yang mantap, prasojo (bersahaja) dan sembodo (teguh dan konsisten), penemuan dan penerapan iptek, serta kehidupan yang berkelanjutan.
V. PENTINGNYA JALUR PEJALAN KAKI (PEDESTRIAN WAY) DALAM RUANG KOTA
Sebuah kota haruslah menyediakan ruang kota yang manusiawi dan memadai untuk sirkulasi pedestrian. Hal ini berkait erat dengan usaha pengurangan kendaraan pribadi, yang disertai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas kendaraan umum massal. Hal ini akan berpengaruh positif pada pengurangan konsumsi energi, mengurangi kemacetan, serta anggaran negara dengan berkurangnya subsidi energi serta peningkatan pendapatan dari pajak dari kinerja yang meningkat karena pemanfaatan waktu yang efektif dan efisien, yang berimbang dan berkelanjutan.
This boils down to a simple fact: If you plan for cars and traffic, you get more cars and traffic; if you plan for people and places, you get more people and places. Jika kita berencana untuk menyediakan ruang bagi kendaraan bermotor dan lalu lintasnya, maka kita akan mendapatkan lebih banyak kendaraan bermotor dan keruwetan lalu lintasnya. Jika kita mempunyai rencana bagi manusia dan masyarakat, serta ruang publiknya, maka kita akan mendapatkan lebih banyak manusia dan masyarakat yang beraktivitas di ruang publik.
Maka untuk menghidupkan interaksi sosial yang alami dan berbudaya, serta menumbuhkan budaya demokrasi dalam masyarakat, diperlukan langkah mendasar sebagai suatu peta jalan yang akan membentuk perikehidupan bermasyarakat kita esok yang lebih baik. Pertama : batasi
Maka revitalisasi kampung sangat diperlukan, dengan terlebih dulu merevitalisasikan segenap potensi, dan membangkitkan lagi vitalitas dan kekuatan kemandirian warganya sampai ke individu, membangkitkan lagi serta meningkatkan kemampuan kerjanya yang khas, serta kegiatan-kegiatan seni-budaya. Bagaimana pun, kampung adalah sebuah warisan budaya sosialisasi dan interaksi budaya kota yang khas, serta menyimpan banyak potensi dan energi vitalitas warganya yang belum disadari.
Dalam era globalisasi ini, seyogyanya kita tidak lagi menganut dikotomi kampung–pemukiman elit / pusat kota. Di mana kampung selalu diposisikan tertinggal daripada pemikiman elit/ pusat kota. Maka tugas kita untuk selalu memacu pertumbuhan dan kemajuan desa lahir batin, sebagai basis kearifan, kerukunan, dan kelestarian lingkungan hidup. Dari situlah tempat dan iklim yang sesuai untuk mengusahakan kemandirian ekonomi, tata sosial kebudayaan yang mantap, prasojo (bersahaja) dan sembodo (teguh dan konsisten), penemuan dan penerapan iptek, serta kehidupan yang berkelanjutan.
V. PENTINGNYA JALUR PEJALAN KAKI (PEDESTRIAN WAY) DALAM RUANG KOTA
Sebuah kota haruslah menyediakan ruang kota yang manusiawi dan memadai untuk sirkulasi pedestrian. Hal ini berkait erat dengan usaha pengurangan kendaraan pribadi, yang disertai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas kendaraan umum massal. Hal ini akan berpengaruh positif pada pengurangan konsumsi energi, mengurangi kemacetan, serta anggaran negara dengan berkurangnya subsidi energi serta peningkatan pendapatan dari pajak dari kinerja yang meningkat karena pemanfaatan waktu yang efektif dan efisien, yang berimbang dan berkelanjutan.
This boils down to a simple fact: If you plan for cars and traffic, you get more cars and traffic; if you plan for people and places, you get more people and places. Jika kita berencana untuk menyediakan ruang bagi kendaraan bermotor dan lalu lintasnya, maka kita akan mendapatkan lebih banyak kendaraan bermotor dan keruwetan lalu lintasnya. Jika kita mempunyai rencana bagi manusia dan masyarakat, serta ruang publiknya, maka kita akan mendapatkan lebih banyak manusia dan masyarakat yang beraktivitas di ruang publik.
Maka untuk menghidupkan interaksi sosial yang alami dan berbudaya, serta menumbuhkan budaya demokrasi dalam masyarakat, diperlukan langkah mendasar sebagai suatu peta jalan yang akan membentuk perikehidupan bermasyarakat kita esok yang lebih baik. Pertama : batasi
__________________________________________________________
“Semogalah Anda menjadi pengabdi kemanusiaan, dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak kepentingan. Sebab, manusia dan makhluk-makhluk hidup sebenarnya komputer juga, yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak faktor dan variabel. Komputer bertanggung jawab kepada yang memberi perintah dan memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung jawab kepada sang Pemberi Model yang mahaarif.” (YB Mangunwijaya)
“Semogalah Anda menjadi pengabdi kemanusiaan, dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak kepentingan. Sebab, manusia dan makhluk-makhluk hidup sebenarnya komputer juga, yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak faktor dan variabel. Komputer bertanggung jawab kepada yang memberi perintah dan memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung jawab kepada sang Pemberi Model yang mahaarif.” (YB Mangunwijaya)
jumlah kendaraan (pribadi) yang melewati suatu jalan dan/ atau kawasan. Dengan demikian akan membatasi keleluasaan ruang geraknya. Kedua : berikan ruang yang manusiawi dan memadai bagi sebesar-besarnya aktivitas manusia. Dengan demikian akan membangun dan memperkuat social capital and networking. Ketiga perlakukan jalan sebagai ruang juga, sebagaimana ruang-ruang komunal umumnya sebagai tempat bersosialisasi. Ruang antara yang berada diantara ruang lingkungan hidup, ruang aktivitas masyarakat dan ruang bagi moda transportasi, merupakan ruang bagi pergerakan dan aktivitas publik yang manusiawi.
Kita menjadi pejalan kaki, begitu kita keluar dari suatu bangunan, dan/ atau dari moda transportasi. Ada beberapa pedoman untuk merancang jalur pejalan kaki, yaitu :
1. Lingkungan bagi pejalan kaki harus aman
Jalur trotoar, pelintasan dan penyeberangan bagi pejalan kaki haruslah terancang, dan dibuat supaya bebas dari halangan, dan meminimalisir konflik dengan faktor eksternal yang mengganggu, seperti suara, lalu lintas kendaraan bermotor, dan elemen arsitektural bangunan yang mengganggu.
2. Jaringan jalur pejalan kaki haruslah dapat terjangkau bagi semua orang tanpa terkecuali.
Jalur trotoar, pelintasan dan penyeberangan haruslah dapat memastikan kelancaran pergerakan semua penggunanya, dengan mewadahi dan menyediakan prasarana sesuai kebutuhan masyarakat yang terbatas kemampuan pergerakannya.
3. Jaringan jalur pejalan kaki haruslah menghubungkan tempat-tempat tujuan para penggunanya.
Jaringan jalur pejalan kaki haruslah menyediakan sebuah jalur langsung yang berkesinambungan dan memudahkan keterhubungan antara tempat tujuan, termasuk permukiman, sekolah, pelayanan umum, tempat wisata, transit moda transport umum, dan tempat berbelanja.
4. Lingkungan bagi pejalan kaki haruslah mudah digunakan.
Trotoar, pelintaan dan penyeberangan haruslah dirancang dengan seksama, supaya masyarakat dapat menentukan jalur langsung, terdekat dan tercepat menuju tempat tujuannya dengan mudah, serta meminimalkan kelambatan.
5. Lingkungan bagi pejalan kaki haruslah menyediakan tempat-tempat yang bagus dan menarik.
Ini termasuk ruang terbuka, seperti alun-alun, lapangan, taman, tempat bermain anak, sebagaimana halnya bentuk, matra dan tampak bangunan yang memberikan bentuk bagi ruang jalan. Elemen penunjang seperti tata tanda, perlengkapan jalan (rambu, lampu, pohon, pot, kursi, pohon), karya seni publik, dan pelapis trotoar, sepanjang sesuai dengan keunikan budaya dan sejarah setempat, dapat digunakan untuk memperkuat jiwa tempat.
Kita menjadi pejalan kaki, begitu kita keluar dari suatu bangunan, dan/ atau dari moda transportasi. Ada beberapa pedoman untuk merancang jalur pejalan kaki, yaitu :
1. Lingkungan bagi pejalan kaki harus aman
Jalur trotoar, pelintasan dan penyeberangan bagi pejalan kaki haruslah terancang, dan dibuat supaya bebas dari halangan, dan meminimalisir konflik dengan faktor eksternal yang mengganggu, seperti suara, lalu lintas kendaraan bermotor, dan elemen arsitektural bangunan yang mengganggu.
2. Jaringan jalur pejalan kaki haruslah dapat terjangkau bagi semua orang tanpa terkecuali.
Jalur trotoar, pelintasan dan penyeberangan haruslah dapat memastikan kelancaran pergerakan semua penggunanya, dengan mewadahi dan menyediakan prasarana sesuai kebutuhan masyarakat yang terbatas kemampuan pergerakannya.
3. Jaringan jalur pejalan kaki haruslah menghubungkan tempat-tempat tujuan para penggunanya.
Jaringan jalur pejalan kaki haruslah menyediakan sebuah jalur langsung yang berkesinambungan dan memudahkan keterhubungan antara tempat tujuan, termasuk permukiman, sekolah, pelayanan umum, tempat wisata, transit moda transport umum, dan tempat berbelanja.
4. Lingkungan bagi pejalan kaki haruslah mudah digunakan.
Trotoar, pelintaan dan penyeberangan haruslah dirancang dengan seksama, supaya masyarakat dapat menentukan jalur langsung, terdekat dan tercepat menuju tempat tujuannya dengan mudah, serta meminimalkan kelambatan.
5. Lingkungan bagi pejalan kaki haruslah menyediakan tempat-tempat yang bagus dan menarik.
Ini termasuk ruang terbuka, seperti alun-alun, lapangan, taman, tempat bermain anak, sebagaimana halnya bentuk, matra dan tampak bangunan yang memberikan bentuk bagi ruang jalan. Elemen penunjang seperti tata tanda, perlengkapan jalan (rambu, lampu, pohon, pot, kursi, pohon), karya seni publik, dan pelapis trotoar, sepanjang sesuai dengan keunikan budaya dan sejarah setempat, dapat digunakan untuk memperkuat jiwa tempat.
____________________________________________________________
“Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu yang memkmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang diuntungkan ini adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan, atau mereka yang secara sosial ekonomi memang mampu meraih kesempatan yang ada. Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Sebagian besar masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil manfaat atas hasil-hasil pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan kumuh di perkotaan dan di perdesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi, maupun politik begitu besar, mereka tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin menyulitkan kehidupan sehari-hari. Karena itulah, satu-satunya tujuan hidup bagi golongan miskin hanyalah menyelamatkan diri dari tekanan hidup dengan jalan sangat selfish.” (Drs. Banbang Ismawan, M.Sc., Ketua Yayasan Bina Swadaya)
6. Lingkungan jalur pejalan kaki haruslah dapat mewadahi aneka kegiatan publik.
Lingkungan jalur pejalan kaki haruslah juga merupakan sebuah tempat di mana aktivitas masyarakat dapat digalakkan. Aktivitas menyangkut komersial seperti rumah makan, pariwara, dan tempat berjualan, dapat diijinkan selama tidak mengganggu keamanan, kenyamanan, dan pergerakan publik.
7. Pengembangan jalur pejalan kaki haruslah ekonomis.
Pengembangan jalur pejalan kaki haruslah dirancang untuk mendapatkan penerimaan keuntungan maksimum dari biaya yang dikeluarkan untuk pembuatannya, termasuk biaya perawatannya. Hal ini sebagaimana halnya usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap sarana transportasi yang lebih mahal. Jika memungkinkan, usaha pengembangan ini pada cara yang benar haruslah dirangsang, diberdayakan dan terkaitkan dengan pengembangan berbagai sektor, baik publik maupun swasta yang berdampingan.
VI. PENUTUP
1. Kesimpulan
Ruang kota Solo yang terencana dan terkonsep secara matang akan membawa masyarakat kota kepada budaya demokrasi yang terbuka, akrab dan rukun dalam sosialisasi, saling memperkuat dan memerdekakan. Ruang kota yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang bersifat publik, akan membawa dan merangsang serta menciptakan suasana yang manusiawi, penuh semangat dan meningkatkan solidaritas antarwarga kota.
2. Saran
Seiring pertambahan penduduk kota yang tak terelakkan, peningkatan aktivitas dan kreativitas, tentunya sebuah ruang kota yang manusiawi, akesibel bagi siapapun, serta fleksibel untuk mewadahi keanekaragaman aktivitas yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, sangatlah diharapkan perwujudannya dalam masa mendatang, bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Kota Solo secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Lingkungan jalur pejalan kaki haruslah juga merupakan sebuah tempat di mana aktivitas masyarakat dapat digalakkan. Aktivitas menyangkut komersial seperti rumah makan, pariwara, dan tempat berjualan, dapat diijinkan selama tidak mengganggu keamanan, kenyamanan, dan pergerakan publik.
7. Pengembangan jalur pejalan kaki haruslah ekonomis.
Pengembangan jalur pejalan kaki haruslah dirancang untuk mendapatkan penerimaan keuntungan maksimum dari biaya yang dikeluarkan untuk pembuatannya, termasuk biaya perawatannya. Hal ini sebagaimana halnya usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap sarana transportasi yang lebih mahal. Jika memungkinkan, usaha pengembangan ini pada cara yang benar haruslah dirangsang, diberdayakan dan terkaitkan dengan pengembangan berbagai sektor, baik publik maupun swasta yang berdampingan.
VI. PENUTUP
1. Kesimpulan
Ruang kota Solo yang terencana dan terkonsep secara matang akan membawa masyarakat kota kepada budaya demokrasi yang terbuka, akrab dan rukun dalam sosialisasi, saling memperkuat dan memerdekakan. Ruang kota yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang bersifat publik, akan membawa dan merangsang serta menciptakan suasana yang manusiawi, penuh semangat dan meningkatkan solidaritas antarwarga kota.
2. Saran
Seiring pertambahan penduduk kota yang tak terelakkan, peningkatan aktivitas dan kreativitas, tentunya sebuah ruang kota yang manusiawi, akesibel bagi siapapun, serta fleksibel untuk mewadahi keanekaragaman aktivitas yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, sangatlah diharapkan perwujudannya dalam masa mendatang, bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Kota Solo secara menyeluruh dan berkelanjutan.
__________________________________________________________
“Keningratan sejati tidak terletak pada status keturunan, tetapi pada kadar karaat sikap. Sikap yang sadar tentang perikemanusiaan dan bakat martabat manusiawi yang mengatasi nafsu atau kesenangan alami belaka. Keningratan sejati memperkembangkan dan memuliakan kehidupan.”, “Kepahlawanan ada dalam hidup sehari-hari, bila tumbuh cinta pengorbanan, mengangkat si Lemah, menolong si Miskin, Menyembuhkan si sakit, menghibur yang remuk dan putus asa.” (YB Mangunwijaya)
“Keningratan sejati tidak terletak pada status keturunan, tetapi pada kadar karaat sikap. Sikap yang sadar tentang perikemanusiaan dan bakat martabat manusiawi yang mengatasi nafsu atau kesenangan alami belaka. Keningratan sejati memperkembangkan dan memuliakan kehidupan.”, “Kepahlawanan ada dalam hidup sehari-hari, bila tumbuh cinta pengorbanan, mengangkat si Lemah, menolong si Miskin, Menyembuhkan si sakit, menghibur yang remuk dan putus asa.” (YB Mangunwijaya)
Begitu berat kah anak bangsa yang baru Lahir di Bumi Indonesia....
BalasHapuslalu apakah ada soluis yang bisa kita berikan ???
Saya tertarik dengan tulisan panjenengan mengenai ruang publik kota solo. Kebetulan saya sedang merancang penelitian di kota solo, kira-kira temanya menyangkut relasi kuasa dalam ruang kota. Ruang Publik mungkin jadi fokus karena itu yang jadi isu hangat di pembangunan kota solo. Kalau boleh saya minta kontak panjenengan? Mungkin saya bisa banyak belajar dari anda, ini email saya (aulia.latif@gmail.com)
BalasHapusTerimakasih sebelumnya...
saya ingin mepertanyakan kalimat "Solo dengan segala kearifan lokalnya, kebijakan para pendahulu dan pendiri kota yang sangat brilian, ditambah atmosfer karakter kotanya sebagai kota kerajaan yang sangat memegang teguh budaya dan tradisinya" Kearifan lokal Solo parameternya apa?
BalasHapusPara pendahulu dan pendiri kota yang mana? Bukankah sejak berdirinya kota solo memiliki beberapa pemegang atau hegemoni kekuasaan yang berbeda-beda, kasunanankah, mangkunegarankah atau pemerintah kolonialkah?
Memegang teguh budaya dan tradisi...budaya apa dan tradisi yang mana?
nuwun
Terima kasih atas kunjungan Anda ke www.mannusantara.blogspot.com
BalasHapusUntuk saudara bimbonk,
solusinya? Kembali ke kita masing-masing, saya dan Anda : do our best.
Untuk saudara aulia.latif@gmail.com,
Sebenarnya saya juga masih harus banyak belajar tentang tata ruang kota. Tulisan DEMOKRASI DALAM RUANG KOTA SOLO : MEWUJUDKAN KOTA YANG NGUWONGKE DAN MEMERDEKAKAN, berangkat dari keprihatinan atas semrawutnya kota dan semakin tersingkirnya kemanusiaan dari manusia-manusia penghuni kota, dan menjauhkan kemanusiaan dirinya dari hasil karya ciptanya sendiri, yaitu kota.
Saya mengambil Solo sebagai bahasan, karena Solo adalah kota berskala sedang, baik luas wilayah, maupun jumlah penduduk. dengan harapan, pola pikir dalam tulisan itu dapat berguna bagi pembahasan untuk kota yang lebih besar maupun lebih kecil.
Lalu apa yang bisa saya bantu bagi penelitian Anda ?
Mungkin Anda juga bisa membaca tulisan lain dalam blog ini yang masih relevan, yaitu MEMBANGUN KOTA SOLO SEBAGAI KOTA YANG MANUSIAWI DAN MEMANUSIAKAN MANUSIA. Pembahasan ruang kota Solo dalam skala lebih mendetail, saya posting dalam waktu dekat.
Untuk saudara Yusticia
Saya masih agak bingung dengan maksud pertanyaan Anda. Saya tidak bisa memberi jawaban instan dan singkat untuk memenuhi rasa ingin tahu Anda. Karena dibutuhkan proses panjang untuk pemahaman abstrak. Namun kiranya ada baiknya, jika saya sedikit memberi jawaban menurut pendapat saya, sebagai bagian dari proses panjang pembelajaran kita sebagai manusia. Saya sendiri pun masih dalam tahap belajar untuk mengerti.
Begini, kita mulai dari kearifan lokal : Menurut saya, kearifan lokal tak ada patokan ukuran yang pasti seperti matematika/fisika, karena merupakan ekspresi khasanah pemikiran manusia, dalam suatu lingkar budaya yang melingkupinya.
Jadi kearifan lokal yang diterapkan di suatu daerah, namun belum tentu diterima dengan baik pada daerah lain. Kearifan lokal terekspresi dan menggejala ke dalam adat istiadat, pola perilaku, tata bahasa, sampai kepada karya seni dalam segala variannya, bentuk ruang dan bangunan, dan tata lingkungan tempat tinggal komunal.
Nah, berangkat dari situ, jika kita kaitkan dengan tata ruang Solo, maka memang kearifan lokallah yang menjadi dasar pijakan perancangan tata ruang kota ini. Jika kita melacak jejak sejarahnya, setelah ibukota kerajaan Mataram pindah ke Solo, maka dibutuhkan suatu fasilitas untuk mwadahi dan mendukung fungsi-fungsi pemerintahan negara kerajaan. Perancangan tata ruang Solo mengadopsi dari tata ruang Majapahit, sebagai pewarisan dan pelestarian karya generasi nenek moyang, dengan ketegasan sumbu timur-barat, dan utara-selatan yang terpahat jelas pada tata jalan, tata bangunan dan ruang terbukanya.
Perancangan tata ruang makro kota Solo dan Keraton tidak ada campur tangan dari penjajah Belanda. Maka hanya Solo, dan kemudian diikuti Yogyakarta, serta beberapa kota pesisir, seperti Cirebon dan Demak yang menjadi kota dengan tata ruang khas pribumi di tanah Jawa. Jika nantinya dalam perkembangannya ada intervensi bangunan Belanda, dan kompleks, itu hanyalah tempelan Belanda untuk menunjukkan eksistensinya, dengan tetap memperhatikan tata ruang utama rancangan pribumi. Hal ini perlu kita telisik dengan obyektif, tanpa muatan perasaan/emosi pribadi apapun. Termasuk terhadap adanya trik-trik politik dan feodalisme yang seringkali merugikan rakyat jelata.
Maka kembali lagi, Solo dan Yogya, dan kota-kota pesisir menjadi contoh bagi dibangunnya kota-kota lain oleh para perancang Belanda di tanah Jawa, terutama dengan adanya alun-alun dan peletakan mesjid.
Karya tata ruang kota Solo dan Yogya ini sangat monumental, setara dengan candi-candi. Bahkan lebih hidup, karena masih kita tinggali sampai sekarang. Bukankah itu sebuah karya dari suatu kearifan lokal?
Kiranya Anda perlu membaca tulisan lain dari blog ini, sebagai tambahan referensi, a.l. MEMERDEKAKAN MANUSIA MERDEKA DI BUMI MERDEKA, KEMBALI KEPADA KEARIFAN LOKAL YANG MEMERDEKAKAN, MEMBANGUN KOTA SOLO SEBAGAI KOTA YANG MANUSIAWI DAN MEMANUSIAKAN MANUSIA, DAN MENCIPTAKAN TATA DUNIA YANG DAMAI.
Sekarang saya kembalikan pada Anda, saudaraku.
Salam...
BalasHapusTerimakasih, atas jawabannya... Kalu anda tertarik dengan permasalahan tata ruang kota saya sarankan untuk membaca buku Shadow of Power dari Jean Hillier terbitan Routledge. Disitu banyak dibahas permasalahan tata ruang yang sangat erat kaitannya dengan kekuasaan politik. Kalau bisa saya ingin berdiskusi dengan anda? Syukur2 bisa ketemu langsung...Mohon bisa megirimkan email pada saya... Terimakasih
Aulia Latif
Terkait postingan di atas dapat juga di lihat link di bawah ini :
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3132/1/PESAT%202005%20_arsitektur_006.pdf