Kembali kepada Kearifan Lokal yang Memerdekakan
Namun kita jarang ingat dan diingatkan, bahwa Indonesia lahir dari kesepakatan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara ini, yang diwakili oleh para pemimpin, tokoh adat dan agama, para cendikiawan serta tokoh pemuda. Dalam segala keterbatasan akses dan sarana, serta kekurangan dukungan dan dana di masa itu, namun dengan segenap kekuatan tekad dan kebijaksanaan yang dibawa dari kearifan budaya lokal masing-masing, mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tak dapat diragukan bahwa kearifan budaya lokallah yang melejitkan kemauan untuk mewujudkan cita-cita memerdekakan negeri. Walaupun ini harus melewati tahap pencerahan dan penyadaran melalui pendidikan dan organisasi modern. Dengan melewati tahap itu, maka kearifan lokal bukanlah menjadi dasar untuk berdiri sendiri dan terpecah-pecah. Seperti halnya pada waktu peperangan menghadapi penjajah yang berjuang secara terpisah-pisah tempat, waktu dan tujuannya. Serta sangat bernuansa kedaerahan. Sebaliknya, kearifan lokal diejawantahkan sebagai dasar kebijaksanaan dan daya kekuatan luar biasa yang mempersatukan dan memerdekakan.
Inilah semangat yang hilang setelah kita merdeka lebih dari 62 tahun. Usia kemerdekaan bangsa yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi.
Bangsa kita di usia sedemikian dewasa tidak mempunyai kepercayaan diri yang kuat. Dalam perjuangan pasca-proklamasi kemerdekaan dan dalam mengisinya saat ini, kita malah semakin kehilangan kearifan lokal yang telah mempersatukan dan memerdekakan bangsa kita.
Kita menjadi bangsa yang didikte oleh bangsa lain dengan nilai-nilai asing yang dibawa dan dimasukkannya dengan paksa. Seiring dengan itu, segala sesuatu yang masuk ke dalam negeri kita tidak disaring terlebih dahulu dan disesuaikan dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat setempat. Bukankah salah satu bentuk kemerdekaan juga berwujud kemerdekaan dalam nilai-nilai ? Dimana kita sendirilah yang menentukan, memilih, menyaring, memutuskan, dan menerapkannya dalam praksis kehidupan sehari-hari dalam segala bidang.
Nilai-nilai asing yang dipaksakan ke dalam masyarakat kita menjadikan kearifan nilai-nilai setempat menjadi semakin lemah gemanya. Malah menjadi asing di tanah airnya sendiri. Nilai-nilai asing menuntut adanya sekat-sekat yang tebal dan tajam, yang secara buta dan tidak ramah memisah-misahkan masyarakat. Membuat masyarakat mempunyai sudut pandang kaku dalam menyikapi berbagai masalah dan kejadian. Masyarakat dipaksa secara sistematis terasingkan dan mengasingkan diri dengan mulai menerapkan kosa kata baru yang tidak bijak. Antara lain dengan mempertajam batas antara milikku-milikmu, bukan milik kita semua; pihak kami-mereka, bukan pihak kita bersama. Inilah yang memperlemah, memperbodoh, dan semakin memperpuruk masyarakat menjadi tak terentaskan dan tak tertuntaskan.
Jika ada anggapan sudah mencapai kemajuan, itu hanya kemajuan semu yang mengandalkan tolok ukur kemajuan dari kelompoknya sendiri yang terpisah dari kemasyarakatan yang lebih besar dan utama. Tolok ukur kemajuan menurut nilai-nilai asing tidaklah sesuai dengan kenyataan. Itu hanya tolok ukur secara ngawur, parsial, semu dan sesaat. Serta melestarikan kesenjangan luar biasa yang ditimbulkannya.
Sedangkan nilai-nilai kearifan lokal yang memang lahir, berdialog akrab, dan yang dengan penuh mawas diri direnungkan dan dibatinkan dari dan oleh masyarakat setempat yang sudah merintis budaya sosial bermasyarakat selama ribuan tahun. Selalu mengajak semua orang terlibat tanpa memandang perbedaan. Selalu memancarkan dan mengutamakan keharmonisan dalam kebersamaan. Namun tidak pernah memaksakan. Karena nilai kearifan lokal tidak bermain melalui cara parsial yang kaku dan semu, serta tidak memanipulasi logika. Bagus di luar, namun rapuh di dalam, dan tidak berkelanjutan. Nilai kearifan lokal bermain di tataran batin yang mendasari alur logika secara mantap mencari sebentuk kebenaran dalam sebuah sistem penerapan yang intensif dan berkelanjutan. Hanya mengandalkan nurani dan kesadaran yang secara manusiawi sangat sederhana dan dekat dengan sang manusianya sendiri.
Memang bagi sebagian besar orang menerapkan nilai kearifan lokal memerlukan waktu lama, tidak praktis, dan hasil sedikit secara kuantitas. Nilai budaya lokal memang tidak menjanjikan buah usaha berupa kuantitas materi yang banyak untuk diri sendiri dalam sekejab. Namun buah usaha berupa pola pikir, cara pandang dan perilaku, serta praksis keseharian yang luhur, dapat dipertanggungjawabkan, bersifat menyeluruh ke semua bagian, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan. Melahirkan sebuah produk dalam segala bentuk aktivitas yang berkualitas prima dan tahan lama, menenteramkan, mengharmoniskan, mendewasakan, dan memerdekakan.
Inilah yang menjadi bahan renungan dan evaluasi dalam memperingati hari kemerdekaan bangsa kita.
Ke mana perginya hutan kita, yang tiap hari lenyap seluas beberapa lapangan sepak bola, tanpa menyisakan sedikit pun untuk anak cucu kita? Ke mana perginya kesuburan sawah di desa yang permai, setelah memakai pupuk kimia secara berlebihan selama puluhan tahun? Ke mana perginya air, ketika pada musim kemarau tak setetes pun air keluar dari mata air di pegunungan? Ke mana perginya keutuhan dan kesantunan dalam keluarga dan bermasyarakat, ketika kenakalan remaja, kasus hamil di luar nikah, dan peredaran narkoba semakin meningkat?
Akhirnya, ke mana perginya segala prinsip tata nilai masyarakat yang genuine, sehingga berbagai masalah bangsa ini datang silih berganti tanpa pernah terselesaikan dengan tuntas? Dan bisa jadi kita adalah bagian dari masalah pula, karena membuat masalah baru setiap hari berganti. (Susetyo Basuki)
Komentar
Posting Komentar