Jelajah BRANTAS
Foto kondisi alam di kawasan hulu Kali Brantas, antara Batu - Pujon, Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Banyak lahan kritis bahkan gundul.
(klik gambar untuk memperbesar / click picture to enlarge)
gambar foto satelit kawasan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Jawa Timur.
(klik gambar untuk memperbesar / click picture to enlarge)
Daerah Resapan Air bagi Kali Brantas dalam Kondisi Mengkhawatirkan
Brantas adalah nama bagi salah satu sungai besar di Jawa Timur, di samping Bengawan Solo. Brantas mempunyai panjang sekitar 320 km dari hulu terjauhnya di lereng Gunung Arjuno sampai ke muaranya di Selat Madura. Brantas memiliki puluhan anak sungai yang menyumbangkan air cukup besar kepadanya. Anak-anak sungai itu antara lain Kali Lesti, Widas, dan Konto.
Brantas adalah sungai yang unik. Jika dilihat dari udara, maka alur sungai ini melingkar, hampir satu lingkaran penuh, dari hulu sampai muaranya. Dari mata airnya yang terjauh di lereng Gunung Arjuno (3339 m dpl) yang tinggi dan curam, kemudian bergerak turun ke tenggara, serta bergabung dengan anak-anak sungai lainnya dari Gunung Anjasmoro (2277 m dpl) dan Arjuno sendiri ke arah Kota Batu yang berketinggian sekitar 850 m dpl, kemudian turun lagi ke lembah Kota Malang (sekitar 450 m dpl). Di Malang ini, Brantas berbelok ke selatan sambil bergabung dengan anak-anak sungai dari Gunung Bromo (2770 m dpl), menuju Kepanjen (300 m dpl). Di sini bertemu dengan anak sungai yang cukup besar dari Gunung Semeru (3676 m dpl), yaitu Kali Lesti, serta anak sungai dari arah Gunung Kawi (+/- 2600 m dpl) dan Panderman (+/- 1800 m dpl) di Batu, yang punya alur sejajar dengan alur utama Brantas.
Di Kepanjen ini, Brantas berbelok ke barat ke arah Blitar (150 m dpl). Antara Kepanjen dan Blitar terdapat waduk Karangkates, yang merupakan yang terbesar di Jatim. Di alur ini, Brantas banyak mendapat sumbangan air dari anak-anak sungai yang berhulu di Gunung Butak (2868 m dpl), Kelud (1731 m dpl), dan Pegunungan Kapur Selatan (Pegunungan Kidul). Pegunungan Kidul ini adalah pegunungan kapur yang melintang dari barat ke timur, dari wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, sampai ke selatan Gunung Semeru di Lumajang. Sampai di sebelah utara Tulung Agung (80 m dpl), sungai ini berbelok ke utara menuju dataran rendah Kediri (60 m dpl) dan Kertosono (40 m dpl). Di daerah antara Tulung Agung – Kediri – Kertosono ini, Brantas banyak mendapat sumbangan air dari Pegunungan Kidul, Kelud dan Wilis (2563 m dpl).
Di sebelah utara Kertosono, Brantas berbelok ke timur, karena di sebelah utara terhalang oleh perbukitan Kendeng, yang merupakan kelanjutan perbukitan yang melintang dari barat ke timur, yang berawal dari wilayah Boyolali, Sragen dan Ngawi. Di sini Brantas juga mendapat pasokan air cukup banyak dari dua anak sungainya, yaitu Kali Widas dari arah Gunung Wilis, Nganjuk, dan Kali Konto dari arah Gunung Anjasmoro, Pujon, Malang.
Aliran Brantas bergerak menuju ke timur, melalui wilayah sebelah utara Jombang (25 m dpl) dan Mojokerto (16 m dpl). Di wilayah ini Brantas banyak mendapat pasokan air dari arah Gunung Anjasmoro dan Welirang (3160 m dpl) yang berada di selatan aliran sungai. Di alur ini telah menjadi tempat kehidupan manusia purba dan peradaban besar di masa lalu, yaitu Kerajaan Majapahit. Di Mojokerto, Brantas yang badan sungainya sangat lebar itu, terpecah menjadi dua sungai, menuju muaranya di Selat Madura. Yaitu Kali Porong, menuju ke arah tenggara di antara wilayah Porong dan Gempol. Kedua adalah kali Surabaya, atau juga disebut Kali Mas, menuju ke arah timur laut, melalui Kota Surabaya. Kemudian ada banyak pecahan sungai yang lain yang lebih kecil ke arah timur menuju laut. Pecahan –pecahan ini melalui wilayah Kabupaten Sidoarjo. Dan delta Brantas ini menjadi derah yang sangat subur bagi budidaya pertanian, terutama padi, sejak ribuan tahun lalu.
Kondisi Daerah Tangkapan Air yang Mengkhawatirkan
Dalam gambar foto udara (sumber maplandia.com, 2006), terlihat kawasan hulu Brantas di Batu dan Malang sudah sangat sedikit sekali warna hijau. Tutupan hutan hanya terdapat di sekitar puncak gunung dan alur-alur pegunungan. Itu pun setiap saat terancam oleh alih fungsi menjadi lahan pertanian, pemukiman, kawasan industri, fasilitas komersial, dan fasilitas wisata, tanpa berwawasan lingkungan hidup.
Turun ke lembah dan dataran rendah – seperti wilayah Kediri - pun demikian. Tutupan berwarna hijau sangat sedikit. Didominasi warna keputihan, kecoklatan dan kemerahan. Warna keputihan menunjukkan lahan pertanian, khususnya sawah yang sedang mengalami kekeringan, serta kurangnya tutupan vegetasi hijau di areal pengairan sebagai pengatur tata air dan peresapan. Warna kecoklatan (seperti terlihat di sebelah utara kaki Gunung Wilis dan Anjasmoro, serta Pegunungan Kendeng yang semula wilayah hutan jati) menunjukkan lahan kritis dan gundul. Semula berupa hutan, tapi kemudian ditebangi, dan ditelantarkan begitu saja, atau hanya sedikit dimanfaatkan. Warna kemerahan adalah wilayah pemukiman, komersial, dan industri (desa / kota) yang tidak disertai dengan penghijauan di dalamnya. Penuh dengan perkerasan tanah, berupa betonisasi, plesterisasi, aspalisasi dan konblokisasi, menjadikannya tidak ada tempat peresapan, sehingga rawan banjir.
Sudah saatnya, kita tidak menggantungkan pasokan air dari hutan-hutan di pegunungan. Karena curah hujan terlalu besar jika hanya ditampung oleh hutan pegunungan. Maka wilayah lembah dan dataran rendah pun juga harus ditanami tanaman keras dan dihutankan kembali. Terutama wilayah yang tidak mendapat irigasi teknis, dapat dilakukan budidaya tumpang sari antara tanaman keras dan tanaman palawija, serta tanaman produktif yang menahun. Terlau sayang jika rakyat Jawa Timur akan menuai bencana banjir, longsor dan kekeringan, hanya karena kita terlalu terbawa nafsu menusia hasil dengan mengorbankan lingkungan. *** (jika ingin memakai artikel dan gambar dari blog ini, harap memberitahu penulis di bazoucka@gmail.com, sebagai ajang silaturahmi dan bertukar wawasan, tanpa dipungut biaya)
”Target saya bukan penghargaan. Lha, kalau lingkungan mati, itu artinya kehidupan kami mati juga,” (Saekan, peraih Kalpataru 2008 dari Madiun, Jawa Timur)
Komentar
Posting Komentar